Langsung ke konten utama
Sang Motivator Internalku
Mba,
Kata itu selalu membuatku haru jika kuucap.
Hari ini adalah hari ulang tahunnya, hari jadinya yang ke 21. Tak terasa 21 tahun sudah dilewatinya. Aku teringat saat kita masih kanak-kanak. Canda dan tawa selalu tersungging di wajah kami. Guratan marah karena pertengkaran kecil pun sering terjadi. Bukan hanya saat kanak-kanak, sampai tumbuh menjadi remaja pun pertengkaran kecil sering terjadi.
Jarak usiaku terpaut 3 tahun lebih muda darinya. Tapi aku merasa ia sebagai seorang sahabat, seorang teman curhat yang bisa membuat hatiku tenang. Tak sekali dua kali kami saling bertukar cerita. Tentang teman, keluarga, cinta, bahkan masalah yang tak berani kami ceritakan pada orang tua kami.
Kadang aku sering kesal dengan ulahnya. Ia pemarah, tukang ngambek, cerewet, dan selalu punya aturan sendiri. Tapi jika aku berada jauh darinya, semua itu begitu kurindukan. Aku ingat ketika kami masih duduk di bangku SD, seringkali kami bertengkar. Tongkat sapu, bantal, sarung dan mainan kecil kami sering kami jadikan lemparan jika pertengkaran itu terjadi. Kadang aku merasa marah padanya, sebagai seorang kaka yang tak pernah mau kalah. Tapi aku sadar, sejak aku lahir ia sudah sangat mengalah untukku. Ia rela mamah dan papah yang awalnya selalu memberi perhatian penuh padanya, harus dialihkan kepadaku. Dulu ketika aku menangis pun, ia akan panik mencari hal yang membuatku berhenti menangis. Atau jika aku masih tak berhenti menangis, ia rela melakukan hal konyol yang sebisa mungkin membuatku berhenti menangis.
Kemudian setelah ia sedikit remaja, mamah dan papah menyuruhnya untuk pergi mencari ilmu di kota jauh. Kau tahu, saat itu aku menangis. Merasa teman satu-satunya milikku pergi. Disitu aku baru merasakan sayang teramat padanya. Ketika kami pernah tinggal di satu asrama yang jauh dari mamah dan papah, kami berusaha kompak. Terkadang aku merasa iri ketika ia lebih perhatian pada teman-temanku yang lain. Aku tahu ia lemah. Sering menangis, ngambek, bahkan sakit. Kadang kalau melihatnya sakit, aku sering menangis sendiri. Khawatir sesuatu yang serius terjadi padanya. Aku selalu berdoa agar ia mendapatkan jalan hidup yang sempurna yang terbaik. Mba, Kini anak papah sudah menjadi gadis. Aku sudah mulai bisa mengurus diriku sendiri.
Kini, ia bahkan sudah menikah. Dan kini ia sudah bukan lagi hanya bisa mengurus dirinya sendiri, bahkan mengurus laki-laki yang menyandang predikat suami.Kau tahu, saat aku mendapat kabar ia akan menikah, aku menangis. Bahagia? Pasti. Karena tandanya ia sudah bisa menemukan separuh hatinya yang kosong. Sedih? Pasti. Karena aku akan kehilangannya lagi untuk kedua kalinya.
Mba,Bukti rasa sayangku kadang tersirat. Kadang aku terlalu gengsi untuk mengatakan sayang padanya. Berfikir bahwa terlalu tua untuk mengatakan sayang pada seorang kaka. Mba,Di umurmu yang ke 21 ini, kedepannya aku berharap mba Imas bisa menjadi istri yang sholihah,
Komentar
Posting Komentar