Kisah Kasih Kekasih
“Nama kamu siapa?”
“Asma”
“Aku Ossid dari Cilacap.”
....
....
“...”
“Kamu pendiem yah. Kamu dari Cilacap juga kan?”
Asma menganguk kecil, hampir tidak nampak bahwa kepalanya
bergerak naik turun. Suaranya juga kecil.
Asma Rokmatuddhuha.
Seorang yang ketika bulan Juni tahun 2010 aku bertemu
dengannya bukanlah siapa-siapa. Mengenalnya pun tidak. Pendiam dan tidak banyak
bicara. Tubuhnya kecil, sama sepertiku. Hanya wajahnya memang lebih manis dan
imut. Masih kelas 1 SMP tapi sudah rapih mengenakan kerudung segi empat. Jujur,
saat itu tahun pertamaku mengenakan keurdung yang kuikrarkan untuk seluruh
kehidupanku. Jadi memang ketika itu, kemampuanku dalam mengenakan kerudung
sangat jelek. Kerudung yang kupakai hanya kerundung bergo, sebabnya jika
mengenakan kerudung segi empat, yang terjadi mukaku terlihat tidak pantas.
Kami tinggal di asrama yang sama, tidur satu kamar, dan
sama-sama asal Cilacap. Bahasa Jawanya lumayan, dibandingkan denganku yang
kecakapan bahasa Jawaku saat itu masih sangat minim. Asma termasuk anak yang
sudah pandai membaca Al-Qur’an kala itu. Sudah hafal surat Yasin. Bahkan beberapa
pelajaran tajwid sudah dipahaminya. Apalah aku yang ketika masuk asrama
benar-benar butuh bimbingan ekslusif, sebab keterbatasan dalam paham agamaku.
Khadijah Islamic School menyatukan kami. Delapan belas anak
lulus SD dari berbagai daerah dan mengeratkan kami menjadi sahabat sampai surga.
Dari cilacap ada 11 anak, tapi semuanya tidak ada yang kukenal. Aku
mencari teman untuk kujadikan tempat cerita dan tempat peraduan ketika tangisku
memuncak sebab rindu mamah. Jangan anggap kami manja, memanglah, kalian harus
rasakan, bahwa anak lulus SD jauh dari mamah sangat memilukan rasanya. Dan
menangis minta pulang adalah hal yang sangat wajar bagiku.
Aku mengenal Asma adalah seorang yang kuat. Seingatku dia
tidak menangis sepertiku. Dia lebih mandiri dan kuat kala itu. Asma bukan teman
dekatku. Hanya sekelas dan sekamar, tapi tidak begitu dekat. Bahkan di tahun
pertama, sepertinya aku sama sekali tidak menjalin hubungan baik dengannya. Ada
beberapa pertengkaran anak kecil dengannya.
Tapi di tahun kedua, dari 18 anak di kelas kami, hanya
tinggal 15 anak. Tiga orang mengundurkan diri karena alasan tidak betah dengan
lingkungan barunya. Kami semua juga begitu, beberapa kali merengek minta
dijemput pulang karena lelah mengikuti kegiatan di asrama yang begitu padat. Bahkan
beberapa menangis ketika orangtuanya datang menjenguk. Dan pastinya bukan aku.
Orangtuaku terlalu jauh untuk datang mengunjungiku, dan biaya yang akan
dikeluarkan pastinya tidak sedikit. Jadi aku biasa menyampaikan rindu secara
virtual, dan mengabarkan bahwa aku benar benar baik baik saja.
Eits... waktunya cerita Asma. Bukan curhat.
Sejak kami menjadi 15 anak dalam satu kamar, aku jadi dekat
dengan Asma. Entahlah sebab apa. Yang kuingat dulu aku pernah membuat kelompok
persahabatan ala ala anak SMP yaitu berjudul ‘AIKO ROSA’ (aku mengetik cerita
ini sambil terkekeh tertawa). ‘AIKO ROSA’ seingatku bermakna ‘Anak Islam Kreatif
Optimis; Ranti, Ossid, Siti, Asma’. Ya kami berempat memang dekat. Sahabat ala
ala SMP, yang menurutku terbilang alay ketika aku mengingatnya sekarang. Dan
sebab suatu perkara, nama itu hilang terbawa jaman.
Sudahlah abaikan. Ini bukan tentang nama persahabatku yang
alay, melainkan kisah pesahabatannya yang tidak berujung.
Dan terus berlanjut...
***
Asma Rokhmatuddhuha
Ossid Duha Jussas Salma
Sekilas beberapa orang yang melihat nama kami bertanya-tanya
dan beberapa membuat sembarang pertanyaan,
“Kalian kakak beradik?”
“Kalian saudara?”
“Kalian kembar?”
“Kalian itu putri yang tertukar.”
“Kok kalian mirip.”
Terbahak sudah kalau menemukan orang-orang seperti ini. Banyak
bertanya, kemudian memberikan statement seenaknya untuk kami. Kami sudah
biasa.
Tinggi badan kami tumbuh tidak secara bersamaan. Aku
mendahuluinya. Tapi berat badanku tetap berada di angka, emmm... sekian lah. Tidak
perlu kusebutkan. Selepas ujian kelulusan SMP, kami semua dibimbangkan
dengan pilihan untuk melanjutkan di asrama atau pulang. Ketika aku aku sudah cakap menjadi provokator kelas. Aku merengek minta pindah sekolah karena lelah
berada di asrama, bahkan aku mengajak semua teman teman untuk pindah sekolah. Termasuk
Asma.
Tapi semua rencana itu hanya menjadi sebuah wacana. Yang
ternyata sebagian besar dari kami sepakat untuk melanjutkan kisah di asrama. Hanya
dua orang teman kami yang mengundurkan diri untuk pindah sekolah. Sisanya tetap
disini, dalam satu kamar yang sama lagi.
Tentang Asma, dia bukan wanita biasa. Super tegar tapi super
baper juga. Hitunglah ini tahun ke delapan aku bersamanya. Tidak ada yang
tidak kutahu tentang dirinya. Seluruh sikapnya sudah kupahami. Menjadi pawang
amarahnya juga menjadi tugasku. Menjadi sandaran ketika masalahnya memuncak,
dan menyediakan jari untuk mengusap tangisnya adalah tugasku. Menjadi kisah yang
mampu mengulas senyumnya juga menjadi tugasku. Sebab seorang sahabat adalah
yang saling mengasihi dalam keadaan seperti apapun.
Pertengkaran sudah bukan hal yang asing. Kami sering
bertengkar. Memaksa minta diperhatikan. Marah, kemudian tanpa bersalam damai
saling bergurau kembali. Beradu mulut karena beberapa pendapat yang berbeda. Entahlah,
jujur untuk Asma aku lebih banyak mengalah. Sebab hatinya terlalu peka dan
mudah terluka, sedang aku cenderung tidak peka dan tidak peduli.
Asma Rokhmatuddhuha
Sekarang sudah jadi gadis. Wajahnya manis. Sikapnya dewasa,
hanya terlalu peka perasaannya membuatnya mudah menangis untuk hal hal yang
sepele. Mudah merasa sakit hati pada tutur kata yang salah di telinganya. Mudah
emosi ketika wajah berlipat seorang ditorehkan padanya, walau bukan bermaksud
untuknya. Mudah bahagia dan bergembira ketika secuil kata tersirat penuh makna.
Banyak sikapnya yang tidak mudah dipahami.
Ia pernacang aksara yang baik. Mudah meluapkan emosinya
lewat aksara emasnya. Menjadikan tulisannya sebuah curhatan bermakna. Memilikinya
bukanlah hal yang mudah. Menjadi sahabatnya bukan sekedar pertemanan biasa. Dia
lebih dari seorang kaka, yang ketika masalahku kubagi dengannya, solusinya
bercabang. Kemudian lebih dari sekedar adik, yang ketika sakit merengek minta
diperhatikan. Dibuatkan teh, yang padahal aku sendiri tidak tahu bagaimana cara
membuat teh hangat yang baik dan benar. Lebih dari seorang kekasih yang tau
apapun tentang segi kehidupanku. Memahamiku setiap sikapku yang belum tentu
orang lain paham.
Seberapa aku menyayangimu? Sangat!
Aku belum membuka hati. Sebab kamu sudah cukup
buatku. Memahami seluruh isi hati dan perasaan. Berbagi cerita cinta yang
kuyakin kisahnya sama sama bermaslaah. Kamu adalah kebahagiaan yang tidak bisa
aku gambarkan. Dan kesedihanmu menjadi bagian dari kisah bahagiaku. Sebab menjadi
teman saat kamu merasa sedih menjadi suka buat pundakku menjadi sandaranmu.
Kami tidak berkasih, kami hanya berkisah. Dan membuat kisah
itu menjadi dongeng abadi.
Pertama kali aku merayakan ulang tahunmu yaitu ketika
tubuhmu masih setinggi pohon jagung, yaitu ketika usiamu menginjak 12 tahun. Haha, sudah
hampir delapan tahun yang lalu. Yang kala itu pertama kalinya aku merayakan
ulangtahunmu bersama dengan yang lainnya. Kemudian saling bertukar kado, sebab
bulan lahir kita sama. Dan beberapa kali kamu lebih peka dengan hari ulang
tahunku dibandingkan dengan ingatanku tentang hari ulang tahunmu.
Tapi hari ini, ijinkan aku menjadi orang pertama yang
mengingat hari lahirmu. Dan mengucapkan selamat di hari paling bahagiamu.
Usiamu menginjak 19 tahun hari ini, dan ini bukan usia yang muda lagi. Bukan waktunya
untuk banyak bermain, banyak begurau.
Pandailah mencari celah tawa di tengah keseriusan larimu. Tentang
perjuangan yang sudah dilakukan dan tujuan yang diinginkan di masa depan, kita sering
salah, itulah manusia. Sebabnya jangan lupa untuk terus memperbaiki diri. Menjadi
wanita yang tangguh dan tidak mudah mengeluh. Tentang betapa sakitnya ditempa
dan ditumbuk, kamu akan tahu tumbukkannya akan semakin halus jika semakin kuat
tempaannya.
Delapan tahun pertemanan kita bukan waktu yang sebentar,
kita banyak membuat kisah dan menjadikannya kasih di lubuk hati. Salamkan pada
mimpi kamu sudah melewati masa masa yang tabu. Hidup mengatasnamakan remaja,
tanpa tahu kita hanya mampir untuk sekedar minum teh.
Barakallahu fii umriki sayang,
Kekasih hati yang kisahnya tidak akan kujual pada sejarah
abal abal. Cepat dewasa dan jadi wanita yang shalihah. Aku sering bilang, kalo
bisa yang nikah duluan nanti aku ya. Kamu nungguin aku nikah baru kamu nikah. Soalnya
mau kemana lagi aku ceritakan kisah pilu kalau bukan denganmu.
Barakallahu sayang, selalu sayang aku...
Sahabatmu,
Jakarta, 30 Oktober 2017
Komentar
Posting Komentar