How beautiful life with u, Mba



Kondisi yang kadang kadang bagus, kadang juga nggak menyenangkan. Aku sering bilang bahwa aku suka sendirian, tapi kayanya maksud sendirian buat aku itu nggak benar benar sendirian karena kapanpun aku mau, aku bisa chat teman temanku, masih banyak grup yang merespon percakapanku, dan media sosial aktif yang membuatku nggak pernah nunggu kapan aku bisa bicara bebas.

Aku memang suka sendirian, tapi aku nggak pernah kesepian dan merasa dibenci sama lingkungan sekitarku. Mungkin ini yang membuatku kufur dan akhirnya mengatakan lebih suka sendirian yang padahal aku tidak pernah sendirian. Hal ini mulai aku sadari setelah suatu sore, kakak ku menelpon, meraung menangis, dan bilang,

"aku nggak tau harus cerita ke siapa lagi Sid. Cuma kamu yang bisa aku telepon"

Dan ya! Tentu! Aku ikut menangis

Kakak Perempuanku | Mba Imas

Aku punya satu satunya kakak dalam hidupku, namanya Imas, kupanggil Mba Imas. Dia hanya lebih tua 3 tahun di atasku. Orang kepercayaanku dalam segala hal setelah orang tuaku sendiri. Dia menikah tahun 2016, di usianya yang masih 21 tahun saat itu. Menikah dengan seorang yang baik, penuh guyon dan sudah punya relationship sejak sebelum menikah. Saat ini sudah dikaruniai 3 anak laki-laki yang jaraknya hanya setahun-setahun.

Ketika dengar pertama kali kabar ia akan menikah, tentu aku kaget karena pada saat itu aku belum pernah melihat kakaku bertemu seorang yang serius. Ia masih banyak bermain, dan ketika aku pulang kampung, wajahnya masih ceria khas anak anak remaja. Tapi ketika saat itu aku melihat usianya, 21 tahun bukan usia yang muda bagi perempuan untuk memutuskan menikah. Apalagi laki-laki yang melamarnya jauh lebih dewasa usianya di atas dia.  

Sedih dan bahagia tercampur pada saat itu. Tapi perubahan emosinya jauh lebih baik setelah menikah. Ia jadi mudah tersenyum dan jarang sekali aku dengar kabarnya sakit. Padahal sebelum menikah, ia sering pingsan dan sakit. Setelah menikah, ia memilih tinggal bersama suami. Aku pikir, itulah yang disebut merdeka pada saat itu. Bertemu seorang pangeran baik, menikah, berumah tangga, penuh kebahagiaan, tidak terikat aturan orang tua dan pastinya bahagia pada segala hal yang ingin diatur sendiri.

Pikiran cetek memang.

Justru, sejak kakaku menikah, aku baru tahu, bahwa kehidupan pernikahan di sinetron bisa benar terjadi di dunia nyata.

Aku baru paham soal menikah bukan hanya memikirkan kebahagiaan pasangan. Tapi juga kebahagiaan dua belah pihak keluarga besar. Saling menjatuhkan para menantu, pulang ke rumah orang tua untuk bercerita, kesepian, dan semua hal nggak menyenangkan dalam pernikahan yang cuma bisa dirasakan oleh mereka yang sudah menikah.

Kakaku yang ternyata jauh lebih bingung kemana bercerita dan berkeluh kesah. Orang tuaku yang juga kesepian dan memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, yang pastinya juga membuat kakaku jauh merasa kesepian. Ketika ia sudah mulai nyaman dengan pekerjaan dan lingkungan kuliahnya yang baru, ia dititip karunia hamil dan memutuskan untuk merelakan semua kegiatan sibuk itu. Di rumah dan harus merasa resah atas kehamilan pertama, ditambah tekanan 'omongan' keluarga tentang ini dan itu yang serba nggak modern. Harus pusing sendiri ketika harus tinggal bersama keluarga besar suami, penuh kecanggungan dan bising bisikan ghibah tentang hal buruk atas kelemahannya selama hamil. Ini tekanan. Tapi ia harus lebih kuat dari semua hal yang menekan dia.

Beberapa kali aku mendapat cerita ini dan itu. Bahagia, absurd, sedih, kesepian, kelelahan, menyenangkan, dibanggakan, disayang, dibenci, dihina, direndahkan, dicintai, dan semua hal yang mengganggu dan membuat pikirannya berbunga-bunga.

Dan baru aku sadari, semua definisi dari semua cerita itu adalah SEPI.

Sendirian ~

Kakakku udah sejak lama sendirian. Ketika pertama kali di kelas 1 SMP, ia harus sekolah di sekolah islam yang sangat jauh dari teman-teman alumni SD nya karena harus pindah rumah ikut pekerjaan mamah ke pelosok desa. Gaya baru, dunia baru, culture baru, dan dia menerima.

Hingga selanjutnya di tahun kedua sekolah, bujukan orang tua dan atas keinginannya ia memutuskan pindah sekolah dan mengulang kelasnya dari kelas 1 SMP. Harus jauh pergi ke pusat kota Jakarta, dengan teman sekelas satu tahun di bawahnya. Tentunya culture baru. Jauh dari orang tua, dan semua hal keterbatasan ekonomi keluarga pada saat itu. Ini yang aku bisa paham bahwa pastii kesepian. Sampai akhirnya di tahun ketiga sekolah, aku menyusulnya ke Jakarta, yang akhirnya baru aku tau kalau kakaku sangat sering sakit di Jakarta. Ia sering pingsan, sakit, dan butuh perawatan khusus setiap sakit-sakitnya kambuh. Meski di asrama banyak teman, tapi aku bisa yakin kalau pasti ada perasaan sepi di hatinya.

Sampai di fase berikutnya, ia berhenti sekolah di asrama karena stress berat yang nggak bisa ia bendung hingga perbuatan naif berhasil dilakukan dan membuat nya tidak bisa diterima di asrama lagi. Ia harus kembali ke Cilacap di tahun ke empat dan mengulang kembali kelas di SMA nya, dengan resiko ia harus satu kelas dengan anak usia dua tahun di bawahnya. Aku tahu semua orang mencintainya. Tapi di fase ini, pasti ada sepi yang tidak bisa didefinisikan hanya lewat banyak sedikitnya orang di sekelilingnya.

Perasaan gagal, harus mengulang kelas padahal nggak bodoh, iri, lelah, dan tekanan dari label 'anak pertama' pasti beraaat banget dia bawa kemana mana.

Akhirnya memilih jalan yang kurang baik dan harus mendapat hukuman dari orang tua sendiri atas apa yang ia lakukan. Terpaksa bekerja agar sibuk untuk melupakan segala hal yang membuatnya lelah.

Entah kurang atau lebih dari setahun, nggak berlangsung lama, kabar 'bahagia' tentang ia dipinang seorang lelaki baik terdengar sampai di telingaku. Aku tahu menikah sama dengan bahagia. Tapi pasti ada perasaan pupus pada saat itu tentang mimpi-mimpi yang ingin ia gapai. Tapi ia yakin dan mau berkomitmen untuk melanjutkan jenjang hubungan seumur hidup yaitu pernikahan.

Usianya masih 21 tahun. Dengan segudang mimpi, ia bawa bersama bahagianya pernikahan. Mulai hidup berdua, bertambah keluarga besar, mulai kompleks masalah per-ipar-an di keluarga baru, dan semua masalah yang sudah diwaspadai sejak sebelum menikah. Semuanya muncul satu persatu. Dengan berusaha dewasa. Memupuk amarah karena merasa bungsu di keluarga baru dan menjadi penuh air mata ketika bercerita. Walaupun nggak pernah diucapkan, aku yakin ada jerit sepi di setiap cerita yang ia gambarkan.

Apalagi sejak kedua orang tuaku memutuskan pindah keluar kota dan ia tinggal berdua bersama suami. Satu kotak pandora isi keluh kesahnya pergi. Ia banyak bercerita pada seorang aku, adik yang jarang sekali bisa berpikir lembut dan tenang saat diajak bercerita. Yang aku tidak pernah memberi solusi terbaik pada tiap cerita-ceritanya. Tapi aku tau, di dalam ceritanya ada kalimat SEPI yang ingin ia utarakan dalam bentuk ribuan kalimat.

Mba Imas udah sejak lama sendirian

Dari sebelum aku yakin bahwa sendirian itu menyenangkan, harusnya aku berpikir ini sejak dulu. Sehingga aku tahu, bahwa konsep sendirian nggak selalu tentang sedikit banyaknya orang yang berkeliling di sekitar kita. Ada banyak sepi di tengah keramaian yang nggak bisa diutarakan dan seakan salah jika diutarakan.

Dengan kesedihan dan cara luapannya akhir-akhir ini, dia bukan sama sekali lebay, apalagi cari perhatian. Dia cuma meluapkan semua sepi yang selama ini ia pupuk sendiri. Meluapkan segala kesal dari jutaan kesal yang ia pupuk bertahun-tahun sebelum hari ini.

Kakakku cuma perempuan biasa. Punya suami baik dan 3 anak lucu-lucu. Yang bisa kapan saja menangis, tertawa, sedih, bahagia, marah, kecewa, dan semua perasaan manusia lainnya. Dia nggak punya obat dari semua sakit itu. Dia nggak punya alat ukur emosi untuk mengukur apa kadarnya bisa ia turunkan sebelum meluap. Dia nggak punya cukup kelapangan hati untuk menerima segala tindak buruk manusia di hadapannya.

Dia cuma perempuan biasa,

Aku yang sesekali datang lewat chat pun hanya membawa kabar-kabar pribadi yang perlu diperhatikan. Aku egois. Karena pun saat ini, kotak pandoraku yang penuh warna warni masih ada di dia. Masih ada di seorang Mba Imas, kakak satu satunya.

Boleh loh Mba, menangis dan mengeluh. Saling meminta bantuan itu bukan suatu budaya. Nikmatku berdiri hari ini karena salah satunya adalah kehadiran Mba Imas dan keluarga. Ada banyak pelajaran yang nggak mampu aku bayar secara materi dan batin. Dari mba Imas, aku banyak membaca tanpa buku. Banyak menonton tanpa film. Banyak mendengar tanpa suara. Aku seperti masih dalam drama yang nggak akan usai untuk kupelajari tiap episode nya. Ikut merasa bangga karena turut membesarkan keponakanku walau hanya secara virtual. Turut berbangga hati karena proses belajar mba Imas sangat sangat luar biasa.

Aku yang jauh dari kata semangat. Mudah lelah dan hanya berpasrah pada zona aman ini pun selalu merasa kecil. Melihatmu begini dan begitu adalah tarikan kuat untuk membangkitkan ku agar nggak banyak tidur. Mencoba hal hal baru, tidak mau kalah untuk menjadi kebanggaanmu juga selalu aku usahakan.

Mba, kita ini perempuan biasa.

Kita kakak adik biasa.

Kita saudara biasa.

Tapi aku yakin, Mba Imas punya panggung sendiri yang bisa membuat sendirianmu dilihat banyak orang dan diberi tepuk tangan atas penghargaanmu naik ke atas panggung tanpa rasa canggung.

Ossid cuma bisa bikin tulisan yang nggak indah ini. Maafin Ossid, cuma tau mba Imas segini doang. Pasti banyak lelah dan pulih yang Ossid nggak bisa baca. Maafin Ossid karena nggak rajin nanya keadaan Mba Imas. Maafin Ossid yang jarang chat duluan untuk nanya baik atau engga hari hari mba Imas. Maafin Ossid yang lebih sering egois nanya apakah aku cantik atau engga, padahal jawabannya selalu sama cantik bangett.

How beautiful life with u Mba.

Dan nggak tau gimana aku tanpa Mba Imas

Makasih Mba, udah jadi peran kakak paling baik sedunia.

 

Ossid sayang banget Mba Imas.

Bukan untuk dirayakan, tapi Selamat berganti tahun. Selamat mengurai tahun yang baru.

 

Peluk Jauh

Ossid ^^

 



Komentar

Postingan Populer