i am fine
Hai
Welcome
12 Mei 2025
Nggak ada hal spesial. Cuma terlalu banyak bekerja dan berkegiatan, sampai seringkali aku lupa siapa aku. Dan bagaimana cara meromantisasi diri sendiri.
How’s Life?
Flat
Baru aja beberapa menit, setelah beberapa kali muncul fyp di tiktok-ku orang-orang dengan racikan matcha-nya. Aku sama sekali nggak suka matcha, tapi aku suka nonton video racikannya. Inget beberapa tahun sebelum hari ini, aku rajin banget racik kopiku sendiri. Aku rajin banget coba resep ini itu. Ada perasaan suka, cinta, dan terkagum-kagum sama setiap rasa kopi yang resepnya selalu berbeda.
Tapi itu dulu ya.
Sekarang?
Minum seadanya, sesempatnya, sebutuhnya.
Aku membuang banyak romantisasi dalam hidup demi beberapa hal prioritas yang aku nggak tau bisa menyelamatkan aku di masa depan atau engga.
Beberapa hari lalu, teman satu kosku ulang tahun dan dia mengundangku makan. Nggak pernah menyadari hal-hal kecil. Tapi tiba-tiba dia tanya, “kapan terakhir kali lu ke mall Sid?”
Bulan lalu,
Dua bulan lalu,
“Oh, Februari.”
Tgl 18 Februari aku nonton sama temen kampusku dulu, karena perasaanku waktu itu lagi kacau. Dan aku butuh orang lain yang nggak aku lihat setiap hari untuk nemenin aku nangis-nangis dan marah marah. Setelah itu nggak pernah.
Beberapa minggu lalu mungkin, aku juga ke mall untuk menepati janji membelikan adikku sepatu kets hadiah ulang tahunnya.
Atau setelahnya aku pergi ke mall untuk makan karena ada reuni kecil dengan teman-teman SMP.
Selebihnya?
Aku menghabiskan waktu di kantor, kuliahku, atau di rumah saja.
Akhir-akhir ini, minat pergi-pergiku hilang. Minat main-mainku juga sama sekali nggak ada. Tapi kalo dipikir-pikir lagi, sejak dulu memang aku jarang banget pergi untuk membahagiakan diri. Sebenarnya, apa ya bahagiaku? Apakah bekerja ini adalah bahagiaku? Entahlah.
Beberapa waktu lalu aku menghabiskan waktu di Arah Coffe, bukan untuk meromantisasi diri, tapi untuk menyelesaikan soal ujian SMA yang menjadi hutang karena malasku. Lagi-lagi pekerjaan.
Beberapa waktu lalu juga aku ke Bandung, tapi bukan karena ingin berlibur diri. Tapi karena ada tugas mendampingi rombongan ibu-ibu yang harus diawasi liburannya. Lagi-lagi pekerjaan.
Waktu pulang kampung ke Cilacap dua hari, aku bahkan bertemu keluarga kakakku saat malam hari setelah mendampingi anak-anak yang kubawa dari Jakarta untuk berlibur di sini. Lagi-lagi pekerjaan.
Bahkan waktu kuliahku yang sangat berharga, nggak bisa kujadikan bahan romantisasi diri sendiri. Sepulang kerja, aku harus buru-buru ke halte untuk rebutan kursi karena transjakarta di jam pulang kerja lebih ramai dari laju gerbong kereta Train To Busan. Sementara biasanya aku bisa memvideokan perjalananku, soreku lebih lepek, make up ku boro-boro bertahan, lipstikku masih stain aja alhamdulillah. Sesampai di kelas, sedikit obrolan banyak bahasan. Aku juga nggak ada waktu buat kenalan sama teman-teman baruku.
Selesai jam kuliah, aku nggak bisa nongkrong. Sebisa mungkin kejar waktu bus terakhir sebelum jam 11 malam. Dan aku juga nggak mau buang-buang waktu untuk nggak tidur malam, karena aku sadar diri jam 7 ku sudah harus di sekolah untuk kerja lagi. Begitu seterusnya berputar dan kembali lagi.
Aku memanfaatkan waktuku dengan baik, seperti mauku.
Tapi sekaligus aku kehilangan waktuku sendirian saja.
Senang rasanya, nggak menganggur sedikit pun. Senang nggak punya waktu basa basi. Bahkan di waktu luangku di antara padatnya isi bus, aku masih seperti punya tanggung jawab upload konten di tikok-ku, membaca tren, riset materi, dan lainnya. Bahkan aku harus pakai earphone ku setiap waktu supaya aku nggak ketinggalan satu tren pun di tiktok. Belum risetnya, editnya, pilih lagunya dan lain sebagainya.
Aku puas sama diri aku sendiri.
Tapi kadang aku juga sadar kalo ini cape banget. Banget. Banget.
Nggak sekali dua kali, setelah sampai kos, seluruh lampu dimatikan. Aku menyalakannya diam-diam untuk bebersih, shalat, mandi dan bersiap tidur. Dan setelahnya, aku habiskan waktuku mungkin sekitar satu jam untuk menangis sesenggukan tanpa suara. Untuk menyadari bahwa aku lelah banget. Aku cape banget. Tapi aku bisa apa selain menangis. Belum lagi kalau pulangku dibarengi hujan yang sangat aku benci.
Aku benci beberapa minggu ini kehujanan. Aku benci basahnya, aku benci dinginnya, aku benci migrain ku yang jadi nggak fokus belajar, nggak fokus kerja, nggak fokus ngobrol.
Aku memanfaatkan waktuku dengan baik, seperti mauku.
Tapi sekaligus aku kehilangan waktuku sendirian saja.
Aku kebingungan ketika temen-temenku tanya, kapan waktu luangku. Aku nggak bisa baca kapan aku bisa luang. Aku bahkan bingung kapan aku bisa pergi happy-happy sendiri sesuai mauku.
Aku kehilangan waktu untuk masak. Yang biasanya minimal seminggu sekali aku bisa masak yang aku mau, ini boro-boro masak. Bisa makan aja bersyukur. Kadang aku sebel ketika pulang ke kos nggak ada makanan apapun. Nggak ada nasi yang udah dimasak. Nggak ada sayur. Tapi aku juga udah tau kalo di kos yang suka masak cuma aku. Yang suka makanan rumahan cuma aku. Jadi terus aku mau mengandalkan siapa selain aku sendiri.
Sesekali mengalah. Pulang kuliah, aku mampir beli makanan dulu. Karena aku sangat benci pesan online. Aku benci nunggu suatu hal yang bisa kupastikan lebih cepat kudatangi. Aku paksa untuk beli makanan sebelum pulang, supaya malam setelah sampai kos aku nggak ngebangunin siapapun dan bisa makan dengan tenang.
Aku nangis tiap jalan pulang hujan. Aku suka cerah. Aku suka panas. Aku suka terik.
Aku memanfaatkan waktuku dengan baik, seperti mauku.
Tapi sekaligus aku kehilangan waktuku sendirian saja.
Mataku makin hari makin masalah. Salah naik koridor bus. Nabrak sesuatu. Nggak ngenalin orang di jalan. Nggak tau minusnya bertambah atau mungkin plus dan bisa jadi silinder. Aku nggak merawat diriku dengan baik memang.
Apalagi kakiku yang sakitnya tidak kunjung usai. Akibat sepatu tinggi itu ternyata ga berangsur hilang. Malah semakin banyak berjalan, semakin susah melangkah. Tapi yaa, aku bisa menanganinya. Aku ke dokter kok. Walaupun obatnya nggak aku minum. Aku berkonsultasi kok, walaupun nasehatnya nggak aku terapkan.
Dalam sebulan ini, aku udah blokir akses pemberitahuan dari 10 temenku, dan menghapus temen-temen yang kuanggap mengganggu dari daftar pengikutku. Aku benci dilihat, diperhatikan, diawasi oleh orang-orang yang bagiku mengganggu. Aku benci melihat kabar baru orang-orang yang berhasil bikin hidupku hancur tanpa sadar.
Mungkin aku marah sama diri aku sendiri, tapi aku nggak mau melampiaskannya pada siapapun dan apapun. Aku rasa, membatasi segala akses pemberitahuan hidup orang-orang itu lebih baik dari semua hal yang semestinya aku lakukan.
Mungkin aku benci hari-hariku, tapi aku berusaha menikmati.
Mungkin aku benci hari-hariku, tapi aku berusaha menikmati.
Mungkin aku benci hari-hariku, tapi aku berusaha menikmati.
Seperti saat aku bicara, bibirku bergetar menahan tangis yang tumpah karena tulisku di depan orang-orang.
Aku benci dikasihani.
Jadi biarkan aku seolah menikmati hidupku.
Jadi biarkan aku seolah mampu menangani masalahku.
Jadi biarkan aku seolah bisa bertahan dengan semua yang tidak aku mampu.
How’s Life?
i am fine
Komentar
Posting Komentar