Ragam Agama Bukan Masalah, Toleransi Sempurna Jadikan Telaah
Semua manusia sama tidak tahu dan sama rindu.
Agama adalah kemah para pengembara.
Menggema beragam doa dan puja
Arti yang sama dalam bahasa-bahasa berbeda.
Jakarta, 28 Mei 1983
WS Rendra
WS Rendra
“Hey, jangan dekat-dekat dengan
dia, agamanya sesat!”
Pernahkan
kalian mendengar percakapan seperti itu di lingkungan kalian? Kalau iya,
kira-kira orang seperti apa yang masih saja meributkan persoalan perbedaan
agama di Indonesia. Tentu mereka adalah orang-orang yang primitif dalam
pemikiran bukan?
Perbedaan
agama adalah hal yang sangat wajar di Indonesia. Indonesia sendiri memiliki
budaya dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Namun jika ada seseorang
yang pada zaman sekarang masih saja membeda-bedakan agama seseorang atau bahkan
mendiskriminasi dengan menghujat dan membuat gosip yang tidak benar, itu
menjadi hal yang sangat tidak wajar. Sebab perbuatan tersebut bisa menimbulkan
peperangan dalam negri. Banyak orang saling mencaci di dunia maya, dan tidak
sedikit juga yang dalam kehidupan nyatanya masih mendiskriminasi adanya
perbedaan agama.
Banyak
orang yang dengan niat awal membela agamanya, malah sukses mengolok-olok agama
lain. Padahal dalam kehidupan nyata, adanya keragaman agama seperti ini bisa
menjadi sebuah pelajaran berharga. Terlebih di Indonesia, bukan hanya agama
saja yang beragam. Tapi keseluruhan isi Indonesia adalah perbedaan. Wajah,
kulit, budaya, adat, logat, bahasa, makanan, agama dan bahkan selera makan pun
berbeda-beda. Itu sebabnya, keyakinan seseorang tidak bisa disamakan dengan
mudah.
Banyak
orang daerah pedalaman yang masih menganut agama nenek moyangnya atau sering
dikenal dengan kepercayaan nenek moyang. Namun apakah hal seperti itu pantas
untuk diributkan atau dipermasalahkan. Bahkan seharusnya kita semua saling
merangkul. Menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa Indonesia sangat menjunjung
sikap Bhineka Tunggal Ika.
Menurut
definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia dengan
lingkungannya.
Pada
zaman era Orde Baru, Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia hanya 5 yakni
Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Tapi setelah era Reformasi,
berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) No.6/2000, pemerintah mencabut larangan
atas agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa. Keppres No.6/2000 yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman
Wahid ini kemudian diperkuar dengan Surat Keputusan (SK) Mentri Agama Republik
Indonesia Nomor MA/12/2006 yang menyatakan bahwa pemerintah mengakui keberadaan
agama Kong Hu Cu di Indonesia.
Agama
bukanlah sebuah persepsi salah atau benar. Sebab hingga hari inipun belum ada
manusia yang bisa mengarahkan pada sebuah kebenaran yang hakiki. Semua agama
memiliki kepercayaan tersendiri dalam membuat keputusan benar atau salah, dan
Tuhan masing-masing agama telah menetapkan kitab seperti apa yang dijadikan
pedoman untuk kehidupan ummatnya. Tentu sesuatu yang buruk akan menjadi sebuah
larangan dalam agama. Sebaliknya pun begitu, sesuatu yang baik akan memnjadi
sebuah perintah. Namun mengapa sampai hari ini masih ada saja manusia yang meributkan
agama yang dianut adalah agama yang paling benar.
Hidup
adalah sebuah pilihan. Semua orang lahir dalam keadaan kosong. Orangtua atau
keluarga kita lah yang membentuk kita untuk menganut agama apa. Namun seorang
yang sudah dewasa dibebaskan untuk menganut agama mereka sesuai dengan pilihan
masing masing. Jadi agama bukanlah sebuah paksaan. Dan hidup di Negara yang
memiliki ragam agama, budaya dan adat istiadat seharunsya menjadikann kita
orang yang beriman dan tetap teguh dalam mempertahankan kepercayaan kita
terhadap Tuhan kita masing-masing.
Keragaman
dan keharmonisan antar agama sudah banyak ditunjukkan di Indonesia. Banyak
wujud budaya dan peninggalan-peninggalan kuno yang menunjukkan bahwa pada zaman
dahulu semua agama bersatu, saling toleransi dan bahkan membuat akulturasi
budaya yang baik.
Contoh
nyatanya yaitu sebuah kesatuan antara agama yang berbeda namun dijadikan dalam
satu budaya yakni Menara Masjid Kudus. Menara Masjid Kudus jika dilihat dengan
jelas bentuknya akan sangat mirip dengan bangunan candi Hindu, namun secara
fungsinya, menara tersebut dipakai untuk menyerukan adzan. Tentu dari kedua
agama tersebut terciptalah akulturasi antara dua agama yang berbeda namun tetap
bersatu dalam sebuah bangunan yang kokoh. Ini menjadi salah satu bukti
persatuan.
Banyak
orang yang mengatakana bahwa Islam adalah agama yang radikal. Teroris Islam
menyerukan Takbir sebelum mereka melakukan aksi bom bunuh diri. Atau sentilan
sentilan mengenai percakapan bahwa agama islam adalah agama yang bodoh, atau
agama Tionghoa yang kasar. Semua itu hanyalah bentuk manusia yang tidak
menyukai perdamaian. Padahal mereka sendiri yang menganut agama tersebut merasa
santai bahkan aman ketika bersama orang-orang non agama mereka.
Tentu kita semua yakin, semua orang akan menyukai adanya kedamaian dan keharmonisan dalam bermasyarakat. Bukan untuk mencari sebuah keuntungan materi atau hal semacamnya, namun untuk menentramkan jiwa. Dan dengan berdamai di setiap keadaan menjadikan kita hidup rukun bernegara. Negara bukan hanya aman, bahkan mungkin dunia bisa memberikan apresiasi terhadap Negara kita, sebab toleransi kita yang tinggi.
Teman-teman semua, jangan mudah tersulut api emosi. Jangan mudah termakan rasa egois. Jangan mudah terpancing masalah hati. Dan yang terpenting bersikaplah objektif dalam menyelesaikan masalah. Dan jangan sampai, hanya karena emosi yang meledak tanpa alasan yang tepat bisa menghancurkan seluruh mimp-mimpi keharmonisan keluarga Negara kita Indonesia. Semua orang butuh apresiasi tertinggi. Dan semua orang memiliki hak bebas dalam bergama. Jadi jangan merenggangkan keharmonisan. Kokohkan hati dan mantapkan diri untuk terus mendukung satu sama lain. Sebab persaudaraan tidak akan putus bahkan akan terus menyambung.
Jakarta, 5 Agustus 2018
Ossidduha
Komentar
Posting Komentar