Bias
Kuhitung.
Hubunganku dengannya berjalan lancar. Dua bulan. Setelahnya semua jenis obrolan jadi tak kasat rasa. Mengalir tanpa air.
Sebenarnya aku bingung sendiri, untuk apa waktu itu Tuhan menatapkan wajahku di hadapanmu, menyadarkan kehadiranmu di tengah keramaian manusia.
Aku pikir, Tuhan benar-benar punya maksud khusus dipertemuan aku dan kamu. Tapi hingga hari ini, aku belum tahu dan tidak merasa spesial dari pertemuan yang menurut manusia adalah sebuah kebetulan.
"Harapanku ada di rumahmu tidak?"
Pertanyaan bodoh!
Mana mungkin, manusia yang amat cinta diri sendiri beralih ingin mencintai orang lain. Seharusnya aku sudah tahu dari awal. Sehingga posisi permintaan harapannya kepadaku tidak berbalik jadi aku yang mengemis perhatiannya.
Aku terlena waktu. Padahal soal patah hati hanya cukup menunggu. Aku ditipu kunang-kunang yang terlanjur bersinar di malam hari, dan hilang di tiga perempat waktuku di siang hari.
Soal rencana makan kue, minum teh, berkebun dan bercengkerama hanya bohong. Menutupi wajahmu yang sudah tertawa dan menganggapku remeh sejak awal kali bertemu.
Titik kelemahanku pada kehadiran.
Aku baru menyadarinya. Baru mau mengakui kalau diriku benar-benar bodoh soal pilihan. Baru mau melibatkan pikiran untuk sebuah perasaan. Aku baru tahu, tinggi hati bukan hanya berguna tapi juga diperlukan.
Salam kenal yang tepat aku ucapkan, ternyata salah orang. Aku mengenalkan diri pada manusia yang tidak mau tahu siapa aku. Tersipu pada manusia yang tidak punya niat merayu wanita. Malu-malu pada pertanyaan soal harapan duniawinya.
Karisma tentang ketepatan waktu berdiri dan dudukmu cuma pencitraan. Supaya terlihat berwibawa, cerdas dan punya pendirian. Tapi tidak membuatmu jadi punya perasaan. Aku paham baru-baru ini. Kebohonganmu berpola, kenaifanku memberikan perhatian lebih padamu membuatku sadar bahwa aku terlalu polos dibohongi.
Aku terlalu Iya untuk pertanyaan yang tidak-tidak. Terlalu banyak mengangguk untuk rayuan tanpa keraguan yang ditutupi kepalsuan. Terlalu bahagia pada ketepatan kriteria manusia yang Tuhan perlihatkan, tanpa berpikir ternyata Tuhan hanya menawarkan, tidak memberikan.
"Maaf ya, kita sudah sampai batas,"
Kias.
Bias.
Sayatan di kulitku masih bisa kubendung rasa sakitnya, dibanding komunikasi hati tanpa perasaan yang hanya menuangkan kekecewaan.
Seharusnya aku tidak sedih. Tak peduli soal perasaan dikecewakan karena tiada sesiapun di antara aku dan kamu terlanjur memberikan harapan. Tapi terlanjur mendapati kebohonganmu lebih menyedihkan daripada patah hati karena terlanjur memberikan harapan.
Sepuluh tahun. Aku rasa jaraknya cukup untuk menganggapku benar benar seperti kerdil. Tapi dua kepala dalam diriku juga sudah cukup pantas menganggap mumpuni fisik dan perasaanmu. Aku salah kira, mungkin juga terjadi padamu yang tanpa sadar alibimu kuketahui.
Aku pikir, terlalu banyak perbedaan engsel bisa menjadikan kita sendi yang cocok. Aku berharap seutas tali yang kau lemparkan padaku hari itu bisa lebih kuat. Aku tahu, aku tidak pandai, aku tidak mampu memberi dan bahkan terlalu takut pada resiko perasaan tulus. Tapi tetap merasa sakit setelah dikecewakan hal yang wajar bukan?
Obrolan kita hangus dibakar waktu, menguap bersama perasaan yang nggak pernah terungkap apalagi terucap. Kita tetap sudut dalam ruangan. Yang sekuat apapun goncangannya, sudut tidak akan pernah berubah. Perasaan saling mengasihi ternyata ilusi dari perasaan kasihan.
Aku terlalu payah dan cepat menyerah dengan membatin, 'yasudahlah, mungkin bukan aku yang kamu cari'. Yang mana sangkaan dalam hati itu juga mungkin dituangkan ke cangkirmu sendiri. Kita nggak saling bertanya bagian mana yang luka, mana yang sakit, mana yang kecewa.
Kita menetap dan menguap karena persepsi pribadi. Tidak berani menjajakkan pendapat untuk pertanyaan yang menurut masing masing punya perasaan, 'tak enak untuk ditanyakan'. Seakan-akan paham tentang privasi, padahal sesungguhnya pemenuhan hasrat kesombongan diri.
Kita sama-sama takut untuk jadi naif.
Takut dianggap posesif.
Sampai semuanya berakhir pasif.
Jakarta, 070320
Komentar
Posting Komentar