Nyala
"Makan yuk,"
"Ayok. Di mana?"
"Kayanya di Radio Dalam banyak tempat makan enak deh. Tapi makanan pinggir jalan gitu sih. Mau nggak?"
"Gue sih oke aja mau makan di mana. Asal gratis kan. Haha,"
"Elah santai, gue baru gajian ini. Lu mau makan apa gue traktir dah,"
"Yok lah cabut!"
"Oke pulang kantor jam 6 sore gue tunggu ya,"
"Gue mesti kemana ini?"
"Lu naik busway, turun di halte mayestik aja. Nanti gue jemput di sana. Kantor gue deket sana,"
"Oke. Gue ada rapat di Serpong jam 3 sore, gue usahain jam 6 udah sampe di mayestik,"
"Sip"
Sebenernya hari ini gue tahu, gue nggak akan mampu buat sampe jam 6 tepat di mayestik. Agenda rapat bakal sampai jam 5 sore, tapi kalau nggak gue iyain, tawarannya bakal jadi rencana pertemuan keseratus kali yg batal. Gue tahu jawabannya tulus banget. Bukan sekedar mau bayarin gue dengan ikhlas karena dia baru gajian, tapi juga perasaan sayangnya ke gue yang yakin tulusnya nggak pernah berubah meski seratus kali batal ketemu.
Hidup gue diliputi rasa bersalah yang tinggi kalau hari ini batal ketemu lagi. Sekarang jam 11 dan gue masih di kampus ngurus projek majalah untuk UAS bulan depan. Agenda rapat sama mitra jam 3 sore di Serpong, dan gue harus berangkat jam 1 dari kampus karena naik kereta nggak akan secepat naik burok. Huft.
"Ada pertanyaan?"
"Saya pak!"
"Ya silahkan,"
"Untuk projek majalah bulan depan itu pembagian nilai untuk per-mahasiswanya gimana ya pak? Apa kualitas dari hasilnya akan disama ratakan nilainya kepada seluruh anggota kelompok?"
"Nanti saya perimbangkan. Kemungkinan struktur redaksi dalam majalah tersebut juga memengaruhi,"
"Baik pak. Terimakasih"
Sekarang jam 12. Projek majalah ini nggak main-main. Gue yang ditunjuk sebagai editor oleh teman-teman juga nggak boleh nyepelein tugas ini. Lagipula kalau hasilnya bagus, kebanggaannya juga dirasakan bersama.
"Temen-temen, rapat hari Minggu ya," kata gue menyeru. "Hmm di rumah lu aja bisa ngga?" lanjut gue menunjuk salah satu teman yang rumahnya selalu jadi basecamp kumpul-kumpul.
"Silahkan,"
"Oke makasih. Gue duluan ya, mau ke Serpong ada rapat,"
"Okee," kata semuanya menjawab.
Gue nekat turun lewat tangga dari lantai tujuh, karena gue yakin lari gue lebih cepet dari nungguin lift. Kebetulan hari ini gue uzur, dan nggak mengharuskan gue mampir ke mushala buat shalat. Gue agak gugup bukan karena takut terlambat rapat ke Serpong, tapi lebih takut terlambat janjian sama dia. Takut dia kecewa sama gue yang terlalu banyak bohong.
Tanpa ba bi bu gue langsung ke pintu belakang kampus buat cari angkot ke halte. Jadi gue emang agak ribet kalo mau pergi-pergi. Selain gue perhitungan banget soal duit, gue juga nggak mau terbiasa manja dengan mempercepat waktu perjalanan naik ojek online. Untuk sampai ke Serpong, gue akan naik angkot dulu ke halte, setelah itu ambil busway arah Kebayoran Lama, kemudian cari angkot lagi buat ke stasiun. Gue nggak tau ini cara tercepat untuk sampai ke Serpong atau bukan, tapi yang jelas gue selalu pakai jalan ini untuk sampai ke sana.
Ternyata untuk sampai ke stasiun, gue menghabiskan waktu sekitar 30 menit. Sekarang masih nunggu keretanya datang. Gue udah menghela napas karena lari-larian. Nggak tau kenapa perasaan gue jadi inginnya buru-buru terus. Padahal gue tahu, rapatnya dimulai jam 3.
'Jadi kan nanti?'
Gue tahu banget pesan ini sengaja dia kirim terus karena dia masih nggak yakin gue mengiyakan tawaran ketemuannya. Gue cukup jawab Iyaa dengan huruf 'a' dua dibelakang dengan tujuan jawaban gue cukup menjanjikan. Hampir 3 jam ini dia udah kirim pesan yang sama 3 kali. Huft. Gue tahu dia masih nggak yakin.
Seperti perjalanan kemarin dan hari-hari sebelumnya, kondisi di dalam kereta nggak pernah berubah. Jam 1 siang ke arah Serpong nggak ramai tapi juga nggak sepi. Gue sendiri selalu nggak tahu harus ngapain ketika di dalam kereta. Yang paling sering gue lakukan di dalam angkutan umum adalah memperhatikan manusia lain. Gue akan duduk kalau kondisi sekitar terlihat nggak ada orang tua yang berdiri, kemudian akan berdiri lagi ketika lihat ada orang tua atau anak-anak baru masuk gerbong, atau menegur orang yang tidur dan sedang main hp untuk bertukar posisi dengan orang yang lebih butuh kursi.
Sekarang jam setengah 3. Rapatnya dimulai lebih cepat karena gue sebagai tamu rapat bisa datang lebih awal. Ini jelas menguntungkan gue yang sedang sangat terburu-buru. Nggak ada yang spesial dari rapat. Hal yang wajib dikerjakan meski di ruang sempit siapapun akan lebih tertutup pada pendapatnya. Sesuai dugaan gue, rapat selesai persis di jam 4.
Gue pakai jalur transportasi balik yang sama. Karena letak halte mayestik satu rute dengan busway dari halte Kebayoran Lama. Sekali lagi untuk memastikan, dia wa gue 'Udah kelar rapat?'. Gue menjawab Iya lagi dengan dua huruf 'a' di belakangnya untuk meyakinkannya. Kali ini perasaan buru-buru gue lebih parah dari yang tadi-tadi. Gue bener bener sampe keringat dingin karena gatau harus berbuat apa, ngelihat kondisi jalan di jam setengah lima yang semua orang tau adalah jam pulang kantor. Macet total.
Bodohnya lagi, karena hari ini adalah hari pertemuan dadakan, gue nggak menyiapkan uang lebih yg disimpan di dompet. Meski gue tahu akan ditraktir, menyiapkan uang adalah hal penting saat bertemu seseorang. Gue terlanjur naik busway yang padahal gue bisa ambil uang di atm stasiun. Bodoh!
Sekarang jam setengah 6. Gue udah panik setengah mati karena jalanan macet dan busway gue berhenti. Gue udah wa dia berkali-kali buat menyatakan gue akan datang agak telat, tapi ceklis satu dan telponnya nggak diangkat. Gue udah panik banget nggak tau harus bilang apa kalau dia beneran datang jam 6 sore dan lihat gue nggak ada di halte tanpa dia buka pesen gue dulu. Gue udah ketakutan dia akan marah dan berujung debat seperti janji pertemuan-pertemuan sebelumnya. Gue takut gue gagal jadi orang yang menjaga janji.
Ini udah parah banget. Meski ac busway cukup dingin, gue tetap merasa panas banget. Berkali kali celingukan ke luar jendela buat memastikan macet yang nggak berubah itu berubah. Lengan kemeja biru muda gue sampe kelihatan biru tua karena keringat gue udah beneran nembus lengan gue. Berkali kali gue lap tisu ke dahi gue karena keringatnya udah bercucuran. Bahkan kebiasaan menggesek gigi ketika gugup sampe bikin pegel rahang gue. Gue udah gugup banget. Panik berlebihan.
Sampe akhirnya persis di jam 6, busway sampai di halte dan gue tanpa pikir panjang pesan ojek online karena darurat. Dia masih belum buka wa nya dan balas pesen gue. Gue udah panik setengah mati. Karena gue nggak mau bikin dia merasa bersalah, gue sengaja pesan ojek online ke halte mayestik biar dia kira gua nggak buru-buru dan normal naik busway. Karena beberapa kejadian janjian sama temen cowo, ketika tahu gue naik ojek online, mereka akan bayarin tarif ojol gue yang padahal gue benci banget hal kayak gitu.
Ini udah jam 6 lebih 5 menit. Gue masih di jalan bareng ojol.
"Bang, bisa mampir atm dulu nggak nanti kalau ada di jalan?"
"Oh iya mba,"
Gue celingukan kanan kiri sambil memastikan dimana ada atm. Nihil. Parah. Bahkan di kanan kiri gue nggak ada minimarket yang tersedia atm nya. Gue udah panik banget. Nggak tahu pusing. Sampe akhirnya gue ketemu atm di kiri jalan dan lansung nepuk pundak abang ojolnya. Gue langsung lari dan ambil duit seperlunya gue. Gue balik dan ketika itu abangnya langsung bilang, "mba, haltenya di depan tuh. Mau saya anter atau jalan aja?"
Gue langsung bilang jalan aja karena ternyata udah deket banget. Gue langsung lari ke depan halte mayestik sesuai arahan yang dia kasih. Gue udah panik banget sampe nggak bisa atur napas karena lari-larian.
Seketika gue langsung buka hp dan baru aja dia bales pesen gua, "santuy, gue juga baru kelar kantor nih. Shalat dulu ya gue."
Sumpah panik gue kebayar. Ternyata gue nggak telat. Gue mundur sedikit dari pinggir jalan buat cari sandaran berdiri. Gue jongkok dan nahan perut gue yang sakit karena baru sadar siang tadi gue nggak mampir buat makan atau minum apa-apa. Gue ninggalin makanan dari rapat di meja gue duduk. Dan gue yang biasanya mampir beli kue di stasiun pun ikut kelupaan. Gue terlanjur buru-buru banget.
Gue jongkok sambil nahan perut gue kenceng-kenceng karena udah nggak kuat banget, melilit. Telepon gue bunyi.
"Lu dimana?"
"Gue di depan halte,"
"Sebelah mana?"
"Depannya persis kok, dekat tangga,"
"Pakai baju apa sih lu,"
Gue lupa kalau daritadi gue jongkok. "Kemeja biru muda,"
"Oh... yang daritadi jongkok, pantes nggak keliatan. Dah, gue nyebrang dulu,"
Gue masih belum liat dia karena mata gue minus untuk ukuran objek yang jauh. Paling engga harus sipit-sipit supaya kelihatan objeknya. Tapi nggak perlu gue cari, karena gue tau dia pasti udah pergi nyamperin gue. Ini jadi pertemuan resmi pertama setelah sebelumnya gue pernah ketemu dia sebentar buat kasih kado di halte waktu gue pulang kuliah.
Sejak SMA gue kenal, dia selalu minta ketemu dan gue selalu menolak karena alasan nggak ada waktu. Makanya gue yakin nggak cuma gue, justru dia lebih exited dari gue. Gue masih nerawang jalanan yang ramai banget karena kondisi sekitar adalah pasar yang di malam hari pasti ramai.
"Hoi!"
Gue nengok seketika. Motor merahnya masih sama, penampilan biasa ajanya juga masih sama.
"Ayo naik,"
Ossidduha
4720
Komentar
Posting Komentar