VERA DAN SERIBU RESIKO
“Bulshit
lu Ver!!”
Suara
Dina kencang, sampai semua orang di kantin memandang ke arahku. Dina berjalan
pergi keluar kantin cuek, sedang aku masih duduk di tempat kami berdua tadi
bicara. Aku ingin menangis, tapi kutahan air mataku turun. Sebab, tak satu dua
orang kini memandangku dengan tatapan cemooh. Mungkin mereka pikir, aku sahabat
yang tak tahu diri. Membiarkan teman berlalu saat sedang marah, sedangkan aku
masih duduk di sini, masih diam tak bergerak.
Aku bingung harus berbuat apa.
Sampai
di kelas bangku dudukku sudah sendiri. Dina pindah bangku ke belakang dengan
Rara. Satu kelas memandangku aneh. Sekali lagi. Aku bingung harus berbuat apa.
Seakan aku berubah menjadi monster yang mengerikan, yang harus dijauhi, daan
diatap aneh.
“Dina,
pulang bareng gua ya” kata Farel pada Dina ketika hendak pulang. Sekilas
kulihat Farel memandangku, aku kembali menunduk.
“Ngga sama...?”
Dina melirik ke arahku.
“Udah ngga mau.
Katanya dia bisa pulang sendiri” kata Farel memotong pertanyaan Dina. Kurasa
Farel benar-benar sakit hati sejak aku tak lagi mau menerima tumpangan
motornya. Biasanya ia mengantarku pulang, tapi sejak perubahanku, aku tak lagi
menerima tumpangannya. Aku memilih pulang sendiri daripada menerima tumpangan
motor dengan laki-laki yang bukan muhrim, walau ia sahabatku.
Kami
sekelas. Dina dan aku, sahabat sejak kecil bahkan. Tapi sejak kukenakan jilbab
yang agak panjang, sikap Dina jadi berubah. Seakan ia tak suka pada
perubahanku. Pasalnya memang agak ekstrim perubahanku, awalnya jilbab hanya
kukenakan saat sekolah dan pengajian saja. Tapi sekarang tidak, aku berusaha
istiqomah mepertahankannya. Semua perubahanku ini sebab wasiat ibuku yang baru
dua bulan lalu meninggalkan kami sekeluarga.
Bukan
hanya Dina yang menjauhiku, teman-teman satu grup vocalku pun ikut
menjauhiku. Biasanya saat tampil aku selalu berdiri di barisan depan, tapi
sejak jilbabku panjang mereka menempatkanku di posisi paling belakang. Kata
mereka supaya tidak terlihat aneh karena kostum tambahanku (jilbab) yang
berbeda. Bahkan, menurut rapat ketua dan guru vokalku, aku akan segera
dikeluarkan dari grup vokal karena dianggap tidak mematuhi peraturan grup. Teman-teman
satu geng pun ikut terhasut kata-kata Dina tentangku. Mereka
mengeluarkanku dari anggota geng. Padahal aku sama sekali tak pernah
menjauhi mereka. Aku begitu sedih mereka semua meninggalkanku. Tapi aku sayang
ibuku, beliau berwasiat ingin aku bisa seperrtinya, karena memang beliau lah
satu-satunya orang yang biasa mengingatkanku tentang ibadah. Tapi sejak ia tak
ada, semua harus kulakukan sendiri.
***
“Ver,
elu tuh aneh pake jilbab besar kaya gini. Sebesar-besarnya jilbab si Afaf juga
karena keluarganya salafi. Lah kalau elu?” kata Mita padaku to the point,
saat sedang istirahat di kelas.
“Emang
kalau aku kenapa Mit? Salah kalau aku pakai jilbab syar’i?” kataku membalas
kritikan Mita.
“Bukan
gimana-gimana ya Ver, dari nama elu aja ngga pantes kalo lu pake jilbab.
Ditambah background keluarga lu yang sejagat raya udah tahu, kalo keluarga elu itu agamanya kristen” kali
ini perkataan Mita membuatku tercengang dan memelototinya. “Ya, kecuali ibu lu,
tapi kan beliau udah almarhum” tambahnya.
Ya,
semua kata-kata Mita benar. Aurel Van Vera. Nama pemberian ayahku, bahkan
ayahku memberi namaku dengan rekomendasi dari para pendeta di gerejanya. Di
keluargaku memang hanya aku dan almarhum ibuku yang beragama islam. Ayahku yang
tinggal serumah denganku pun, beliau menganut agama kristen. Maka dari itu,
sebelum ibu meninggal, ia berwasiat kepadaku untuk tidak mengambil jalan yang
salah seperti ibu dulu. Ia ingin aku jadi muslimah sejak dini sebelum semuanya
terlambat.
“Dan
tau ngga? Lu udah menyia-nyiakan satu kesempatan besar yang elu ngga tau” aku
melirik Mita dengan penuh selidik. Apa yang tak kutahu, batinku. “Dua
hari yang lalu, ka Fandy ngomong sama gue, kalo dia ingin masukin elu ke
Fandy’s Band ” berita ini sungguh membuatku terkejut, senang dan bahagia. “Tapi
itu dua hari yang lalu” aku melirik lagi ke arah Mita. “Sebelum dia tahu kalo
elu berubah” tambahnya mengakhiri perkataannya.
Fandy’s
band adalah band favorit sekolah, yang mana semua anak paduan suara pasti ingin
di rekrut masuk band itu. Termasuk aku.
Aku mengutuk diriku sendiri, menyesal. Kenapa perubahanku ini membuatku malah
jadi membenci hidupku. Dijauhi teman, ditinggal saudara, dibenci guru,
dikucilkan sahabat, dianggap aneh, dikeluarkan dari grup dan semua kecaman
lain. Apa harusnya aku biasa saja, kembali pada jalan yang sudah biasa kuambil?
Ya
Allah, jangan kau buat aku menyesal dengan hjrahku...
Aku
sudah hampir putus asa, aku ingin pergi dari dunia ini rasanya.
Kenapa Engkau
buat aku menyesal, padahal aku sudah semakin ingin mendekatiMu. Kurelakan
kehilangan orang-orang terdekatku. Teman-temanku, sahabatku, bahkan ibuku
sendiri sudah meninggalkanku. Tapi apa? Seakan dunia ini ikut menjauh. Aku
sudah tak punya kawan, siapa lagi yang mau menerima kesedihanku. Ya Allah, jangan
kau buat aku benci dengan hijrahku.
Sepulang dari
sekolah, kulihat ada sepatu kulit asing di depan pintu. Aku yakin itu bukan
sepatu ayah, dan kuyakin tak ada tetangga yang datang ke rumah menggunakan
sepatu kulit mewah tersebut.
“Assalamu’alaikum”
salamku pada ayah. aku senang mengucapkannya, walau ayah tak pernah
membalasnya.
“Wa’alikumussalam”
jawab seseorang.
Aku heran,
siapa yang menjawabnya. Tandanya benar, ada seseorang yang sedang bertamu. Dan
pastinya bukan teman ayah, karena ayah tak biasa menerima sembarang muslim
masuk ke rumah kami. Sambil melepas sepatu di depan pintu, aku mencoba
mendengarkan percakapan mereka, tapi hasilnya tak terdengar ap-apa. Mereka
seakan berbisik berdua.
Ketika aku
masuk ke dalam rumah, aku menyalami tangan ayah. dan sekejap kulihat wajah tamu
lelaki itu, tiba-tiba ia merangkulku. “Aaah, Vera. Akhirnya kau pulang juga”
Aku langsung
menyambut rangkulannya. Ternyata ia adalah paman Reza. Beliau adalah adik
almarhum ibuku, beliau dari Malaysia. “Pakci kapan datang? Rindu sekali
rasanya”
“Maaf lah,
pakci baru bisa datang. Sebab penat kalau pakci nak jumpa kau hari-hari. Jauh
pula kau di seberang pulau” katanya dengan logat Malaysianya.
“Iya paman, tak
ape. Pakci nak minum ape?”
“Ah tak usah
lah Vera. Pakci kejap je datang kemari, nak jumpe kau saja lah. Tak usah
buatkan minum. Lihat kau datang je dah senang hati pakci ni” katanya menolak
tawaranku. Kulihat wajah ayah agak sedikit berbeda. Antara bahagia dan sedih
tersirat dari raut wajahnya.
“Oh ya Vera,
tadi kita sudah bicara panjang tentang kamu. Pamanmu ini berniat membawamu ke
Malaysia, beliau ingin berbisnis dengan kamu” kata ayahku dengan suara lemas.
Aku tahu pasti sebenarnya beliau tak ingin aku pergi. Tapi aku sudah bertekad
kuat dengan keistiqomahan hijrah yang kuambil. Dan tawaran paman bisa membuatku
semakin kuat dengan niatku itu.
“Ha.. iyalah tu. Pasalnya ayah kau ni banyak
cerite, kata ayah kau ni, kau sering di ejek kawan pasal jilbab angko sekarang
kan? Makanya beliau ingin aku bawa kau ke Malaysia supaya kau tak sedih lagi.
Kau bisa bergabung dengan kitorang yang sama pula visinya” kata pamanku
menjelaskan. Aku jadi curiga, apa ayah juga sama dengan teman-temanku yang
tidak suka dengan penampilanku. Makanya ia datangkan paman agar aku bisa pergi.
“Hei, jangan
kau bersuudzon dengan ayah kau ni. Die nak buat kau nyaman dengan hidup kau.
Maka dari itu, die ingin pakci bawa kau ke tempat pakci dan bisa berbagi dengan
kitorang” tiba-tiba paman menjelaskan padaku seakan tahu apa yang sedang ada
dipikiranku.
Jika aku ikut
pamanku ke Malaysia, lengkap sudahlah aku tanpa orang-orang terdekat. Lalu
bagaimana aku beradaptasi, sedang aku saja sangat tertutup orangnya. Ya Allah,
pilihan seperti apa lagi yang akan kau berikan padaku. Apa kini aku akan
kehilangan, bahkn meninggalkan negara yang sudah sejak lahir aku di sini.
“Ngga perlu
banyak dipikirkan, ayah hanya ingin kau bahagia dan nyaman dengan pilihanmu.
Ayah tak ingin jadi pengganggu di hidupmu” kata ayah tiba-tiba menepuk
pundakku.
Tapi aku masih
tak yakin dengan tawaran paman, karena aku belum biasa tinggal bersama beliau,
apalagi memulai bisnis dengan beliau..
“Tak perlu
takut juga dengan bagaimana keadaan di sana. Yang pasti mereka semua adalah
orang-orang yang sejalan dengan tujuanmu dan pastinya mendukungmu” kata ayahku
lagi, seakan-akan ia bisa membaca seluruh isi pikiranku.
Aku menangis,
menutup wajahku. Ayah merangkulku. Pergi dari dunia kejam ini adalah
keinginanku, tapi bukan berarti aku akan meninggalkan ayahku. Lalu bagaimana
nasibnya jika aku pergi. Beliau akan sendiri. Ibu sudah tak ada, kakakku ikut
suamiku merantau, ditambah aku juga akan pergi jika aku menerima tawaran
pamanku itu.
“Tenang je, kau
bisa beri pakci jawaban kau nanti. Pakci akan lama di Indonesia. Mungkin tiga
atau empat bulan lagi pakci masih di sini. Korang boleh berfikir untuk bulatkan
pikiran kau. Okeh” kata paman memberiku waktu untuk berfikir.
Ayah pun tak
mau memaksa, kulihat wajah ayag sedikit sumringah setelah mendengar jawaban
paman tadi. “Ayah tunggu jawbanmu nak”
Setelah
beberapa minggu setelah aku ditawari paman untuk ikut dengan beliau, akhirnya
aku optimiskan pilihanku adalah pilihan yang terbaik. Yang insyaallah niatnya
akan menjadi barokah jika kupilih. Walau seribu resiko akan kupikul nantinya.
Kudatangi ayah yang
sedang duduk membaca koran di ruang tamu. Aku beranikan diri dan membulatkan
pilihanku. Dan dengan tegas aku katakan di depan ayahku.
“Baiklah ayah,
aku ijin untuk ikut paman”
***
Terkadang hijrah membuat kita
berani. Berani dengan segala resiko hijrah yang kita lakukan. Kehilangan teman,
sahabat, keluarga, bahkan orang tua sekalipun, Allah bisa menggantinya dengan
ribuan teman baru yang baik untukmu. Tapi jika sudah kehilangan Allah, apakah
mereka semua bisa mengantikannya dengan tuhan yang baru?
Sahabat, jangan takut berhijrah,
apalagi kepadaNya...
Jakarta, Desember 2016
Ossidduha
Komentar
Posting Komentar