SECANGKIR KENANGAN FLAT WHITE






Sruuuuup...
          Seruputan terakhir ini membuatku terharu. Rasanya, tadi saat hendak menghabiskannya aku tak tega. Ingin kuulang seruputan penuh nostalgia ini. Aku kembali memandang keluar jendela. Sudah banyak berubah. Dulu hanya lapangan sepak bola kampus yang sangat kosong. Sering saat senja, mahasiswa olahraga berdatangan untuk berebut bola. Ah, rasanya sudah lama sekali aku tak melihat pemandangan ini. Memang tidak ada yang indah, tapi tersimpan banyak kenangan jika aku memandangnya
Bergosip mantan, bergurau doi, berburu senja, dan tak lupa secangkir kenangan yang selalu kami nikmati saat sunset tenggelam. Dulu kami gadis. Ah dulu, rasanya ingin kuulang waktu itu jika bisa.
            Tiba-tiba seorang pria menghampiri tempat dudukku.membawa secangkir entah apa dan kue black forest mini di piringnya. “Boleh saya duduk?” tanyanya dengan sangat santai.
            “Oh, silahkan” kataku mempersilahkannya duduk di kursi depanku yang sedari tadi memang kosong. Tempat ini memang strategis untuk menikmati senja, pantas jika ia memilih duduk di kursiku. Mungkin dia biasa duduk di sini.
            “Kau mahasiswi di sini?” tanyanya membuyarkan keheningan yang sedari tadi tak sengaja kami ciptakan. Aku tak menjawab, hanya tersenyum kecil. “Baiklah, tak perlu di jawab jika tak penting pertanyaanku” katanya putus asa, karena lama menungguku tak menjawab.
“Dulu, kala aku masih bisa nikmati senja bersama teman-temanku, aku di sini” aku berhenti sejenak untuk menarik nafas. “Kini sudah jadi dongeng dari masa lalu” kataku sambil menatap kosong keluar jendela, seakan angin di luar menghembus sampai ke dalam ruangan juga. Sejuk.
Sruuuuup...
Pria itu menyesap kopinya setelah selesai menyimak perkataanku. Black forestnya pun ia cicipi perlahan, seakan ada sensasi di setiap suapannya.
“Aku sedang mencoba menjadi dirinya. Setiap hari di tempat ini” kata-katanya berhenti. “Enam tahun lalu, dibawah pohon ketapang itu, setiap hari aku duduk. Niatku menjadi suporter sahabatku bermain bola. Tapi sampai di sana pandanganku bukan pada pemain, melainkan pada jendela cafe seratus meter di atas lapangan”
Aku tak memotong pembicaraannya. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang berat yang ingin ia katakan tapi tak biasa ia katakan. Mungkin ia pikir kami tak saling kenal, maka ingin hanya aku yang tahu. Ia menarik nafas panjang.
“Entahlah, rambutnya berkilau walau sependek polwan. Gayanya rapih, tapi terlihat asik. Tawanya selalu pecah. Walau aku tak pernah berhasil mengambil gambarnya dari depan saat tawanya pecah” ia diam lagi dan aku masih menyimak.
“Tapi sejak wisuda enam tahun lalu, ia tak pernah datang lagi ke sini. Mungkin ia pulang, kembali, atau menghilang. Aku tak pernah bertanya pada siapapun tentangnya. Teman-temannya ikut menghilang sejak wisuda itu. Padahal satu hari sebelumnya aku mencari tahu, Flat White adalah kopinya setiap hari”



Sruuuuup....
Ia kembali menyeruput  kopinya “Terakhir yang aku tahu, teman-temannya memanggilnya Aca. Entahlah itu namanya atau bukan. Sudah kucari di data diri kampus, tak ada Aca dalam daftar nama setiap jurusan”
Aku tersentak mendengar kata-katanya terakhir. Kutarik cangkir bekas kopiku ke depan dadaku. Aku tak ingin ia mencium aroma Flat White dalam cangkirku yang baru saja sebelum ia datang kuhabiskan. Selama kami bicara, wajahku kualihkan ke depan. Bahkan sampai aku sadari apa yang dibicarakannya sedari tadi adalah tentangku, aku belum tahu wajahnya. Aku tak ingin ia sadar, dia yang dibicarakannya adalah aku. Ririn Tasya Bela adalah namaku. Sekelas memanggilku Aca. Itu dulu. Sekarang semuanya sudah berubah.
“Kini, sambil menghabiskan senja menunggu ia datang lagi, berdua Flat White, aku yang menggantikannya duduk di sini, di kursi ini. Setiap hari” lanjutnya.
Sruuuuup...
Kali ini ia habiskan seluruh kopinya tanpa sisa. Black forestnya ia biarkan tersisa. Ia bangkit dan mengambil tasnya. “Senja sudah habis, nostalgiaku pun sudah habis. Terimakasih mau mendengar celoteh panjangku” katanya sambil berdiri dan menundukkan kepalanya tanda permisi.
Aku masih tak bisa percaya. Seorang pria tak kukenal mencintaiku dalam diam hingga sepanjang ini kisahnya. Padahal aku tak punya niat apa-apa duduk di sini. Kala itu, aku hanya nikmati senja bersama riung-riung berisik gosip teman-temanku. Dan Flat White pastinya.
“Ririn” panggil seseorang dari belakang membuatku sedikit terkejut karena lamunanku. “Mamaaa...” ternyata Pras, sambil diiringi suara mungil ratu kecilku.
Aku bangkit dan menyambut pelukan kecilnya. “Mama, tadi kita main kuda besar, piring putar, mobil tabrak, rumah...” belum selesai ia bicara, aku sudah terkesima dengan cara bicaranya yang mash belum lancar. Aca kecil menceritakan panjang lebar pengalamannya bertualang wahana bersama ayahnya. Pras hanya tersenyum geli memandangku yang over tanggap, ketika Aca tak sabar bercerita. Setelah selesai bercerita, aku menggendongnya. 
Ratu kecilku lelah seharian berpetualang. “Flat White, atau pulang?” tanya Pras padaku. Kami biasa menyeruput minuman itu bersama dimanapun. Tapi kali ini aku memilih pulang. Rasanya ada seribu perasaan bimbang yang tak bisa kuutarakan. Aku tak ingin mengingatnya lagi.
Walau semua sudah berubah, aku malah bahagia. Apalagi dengan Pras. Laki-laki yang setia enam tahun bersamaku merawat ratu kecil kami yang membuat hiduku semakin sempurna. Pria di cafe tadi kuanggap nostalgia. Yang mana, aku takkan mencintai siapapun lagi dalam hidupku. Karena aku bahagia bisa bertemu Pras dalam hidupku.
Pras sudah sangat lebih dari cukup buatku.
Untuk cinta yang lain, kuharap kau bisa nikmati seruput kopi yang lain. Yang bisa memberimu aroma baru. Agar kau bisa lupakan aroma kopi dari masa lalu. Karena aroma dari masa lalu, tak akan bisa kembali. Walau kau sudah berbagai cara memutar waktu.
***

Cinta bukan sekadar aroma. Ia juga punya rasa. Rasa itu tergantung kita yang nikmati. Dan ingat! Aroma bisa pergi kapan saja. Jadi jangan pernah menunggunya kembali lagi.

Baca juga puisi dengan diksi pilihan terbaik, klik di >> "Akuan Palsu"

Jakarta, Oktober 2016

Ossidduha

Komentar

Postingan Populer