SESAL DI UJUNG SENJA
Bogor 2015
Seperti biasa, aku memandang keluar
jendela dengan tatapan sendu. Di bawah
atap sambil memandang daun segar karena hujan semalam. Rindu akan masa lalu,
mengharap cinta pada sesuatu yang tak pasti. Yang berujung semu, buram, dan
kini mataku sudah tak dapat melihat masa lalu itu.
“ Bun, nenek Ica buatkan teh ya bun “ tanya Ica tiba-tiba
dari belakang. Aku mengangguk sambil melemparkan senyum padanya.
Ia lari kegirangan menuju dapur.
Buah hati semata wayangku itu memang selalu punya cara tersendiri untuk membuat
aku bahagia. Ia tak pernah membuatku kecewa. Kalau aku bersedih pun ia tak malu
untuk merangkulku. Kini hanya dia satu-satunya pelipur laraku. Tak bisa aku
sandingkan kisah yang pahit ini dengan orang lain selain dia. Walau usianya
masih dini, tapi kadang ia bisa menjadi dewasa untuk tetap menjaga hati
bundanya yang bersedih.
Bogor, 2003
“ Riska, mamah ngga mau kamu nikah sama orang ngga
bener kaya dia! ” bentak mamah kepadaku. Aku hanya diam pura-pura tak dengar
sambil membereskan sema barang-barangku. “ Riska! kamu dengerin mamah dong.
Mamah sudah pilihkan kamu jodoh yang lebih baik! “ lanjut mamah sambil menarik
tas yang sudah kuisi penuh baju-bajuku.
Aku mulai geram “ Mah! Pokoknya
mamah ngga usah ikut campur. Ini hidup Riska, suka-suka Riska mau berbuat apa.
Bilang aja kalau mamah udah ngga sayang sama Riska! Iya kan? ”
“ Istighfar Riska! Buat apa mamah
carikan jodoh yang baik buat kamu kalau bukan karena mamah sayang sama Riska? ”
mamah mulai meneteskan mutiara matanya. “ Mamah mohon, jangan pergi ka. Mamah
masih ingin bareng Riska tinggal di sini ” katanya sambil menarik tanganku. Suara
tangisnya terdengar semakin memilukan. Sebenarnya aku juga sudah tak kuasa
menahannya. Tapi apa daya, pernikahanku dengan orang yang kucintai tak akan
pernah direstuinya. Maka dari itu lebih baik aku yang menjauh.
“ Udah deh mah. Riska mau pergi. Riska
udah bosen dengerin celoteh mamah “ kataku sambil pergi meninggalkan mamah yang
masih menangis di lantai. Tiba-tiba mamah dari belakang mencengkeram lenganku.
“ Riska… mamah mohon ka.. ” kata
mamah lirih hampir tak terdengar karena tersalip suara isakan tangisnya. Tapi
aku marah. Mamah tetap tak akan ijinkan aku menikah dengannya.
Aku malah semakin marah “ Riska ngga
mau ketemu mamah lagi!! ” bentakku sambil membalikkan badan dan segera pergi ke
luar rumah.
Aku sudah bersiap dengan tiket
pesawatku menuju Singapura. Aku dan dia sudah berencana akan menikah di
SIngapura dan menetap di sana. Lantaran pekerjaannya memang berada di
Singapura. Aku menurut saja apa katanya. Ia laki-laki yang sudah kukagumi sejak
aku masih SMA, apapun kekurangannya aku menganggap ia sempurna. Apapun yang
dikatakannya aku menurut. Ia juga perhatian, tampan, dan sangat baik padaku. Walaupun memang ia juga tak suka
pada keluargaku. Intinya kisah cintaku saat ini sangat tidak menyenangkan.
Makanya aku dan sia ingin membuat suasana percintaan kita bisa lebih damai.
Siangapura, 2004
Hari ini aku diajak makan malam di
restoran paling mewah di Singapura lagi olehnya. Hidup kami sangat sempurna.
Jauh dari orang-orang yang membenci kami, lalu kami bisa menuangkan kisah cinta
di sini dengan sangat nyaman. Kami sering nonton film di bioskop, tak jarang ia
mengajakku piknik ke tempat-tempat yang sangat romantis. Selalu ada kejutan
disetiap tanggal jadian kami. Bulan lalu ia memberiku kalung dengan liontin
berlian yang sangat mewah, kadang ia juga mengajakku menginap di hotel mewah,
atau membuatkanku masakan-masakan ala SIngapura. Penampilannya pun tak pernah
membuatku bosan, ia selalu bisa membawa pesonanya ke dalam jiwaku. Aku selalu
mencintainya.
Tapi ada satu yang masih membuatku tergantung. Sampe
detik ini, janjinya untuk menikahiku masih saja belum tersampaikan. setiap aku
mambicarakannya, selalu saja ia beralasan masih sibuk dengan pekerjaannya.
Katanya kalau ia menikah, maka pekerjaannya juga akan terputus. Memang sejak
kami berdua terbang ke Singapura, kami sudah tinggal satu apartemen di Novena.
Kami menjalani hari-hari seperti layaknya pengantin baru. Tapi memang kami
belum ada ikatan pernikahan.
Ah, lagi pula apa lagi yang harus kuharapkan. Semua
sudah kudapatkan. Cinta darinya, hidup bersama, menjalani hari-hari bak
pengantin baru pun sudah aku rasakan. Apa lagi yang harus aku harapkan dari
adanya pernikahan, jika tanpa ikatan pernikahan pun semua sudah kudapatkan. Toh
jika sudah sampai waktunya dan ia sudah siap, ia juga akan segera menikahiku.
Aku sungguh menikmati hidupku yang sekarang.
Aku jalanan di balik jendela menunggunya pulang
kerja. Dari balik jendela kulihat keramaian orang pulang dari kerjanya
berhamburan menyebrang jalan. Tiba-tiba pelukan hangat datang dari belakang
melingkar di bahuku.
“ Aku menunggumu sedari tadi ” kataku lembut.
“ Aku juga berlari agar cepat menumpaimu ” katanya
sambil menaruh kecupnya di keningku.
“ Aku sudah buatkan makan malam untuk kita hari ini.
Sangat spesial “ kutarik lengannya menuju meja makan yang sudah kusiapkan makan
malam buatanku.
Malam ini lagi-lagi ia membuatku jatuh cinta
kesekian kalinya. Kami makan malam dengan sangat romantis.
Singapura, 2006
Jiwaku terasa kurang. Sudah satu
minggu ini ia tak pulang. Aku mengkhawatirkannya. Sebelum pergi ia hanya ijin
akan pergi ke Paya Lebar. Katanya
dari tempat ia bekerja menyuruhnya untuk dinas ke sana. Tapi sudah satu minggu
ini ia tak kembali. Sudah kutanyakan pada rekan kerjanya yang lain tetap saja
katanya tidak ada yang tahu.
Memang sebelum ia pergi, kelakuannya
sangat aneh sekali. Ia sering marah-marah, dan selalu pulang malam.
Berkali-kali kunasehati, tapi kejadian itu terus berulang. Sampai aku pernah
kelepasan memarahinya dan ia juga balik memarahiku.
Dan satu yang masih terasa
menggantung. Sampai detik ini, ia masih juga belum mau menikahiku. Katanya
belum siap. Padahal sudah dua bulan janin mungilku berada di perutku. Aku sudah
mengutarakannya padanya, dia bilang dia akan segera menikahiku. Tapi toh sekali
lagi untuk apa? Banyak wanita yang bernasib sama sepertiku di negri singa ini.
Jadi mungkin ia merasa ia tak terlalu wajib untuk menikahiku. Padahal aku juga
menginginkan hubungan kami di berkati dengan pernikahan.
Jika aku
berada di Indonesia, pasti orang-orang sepertiku ini sudah dihina banyak orang
di sekitar. Apalagi jika ibuku tahu, sudah pasti ia akan menikahkan aku dengan
pria lain. Untung saja aku kabur, jika
tidak perjodohan tiga tahun silam pasti akan benar-benar terjadi. Ah,
lagi-lagi aku mengingat ibuku. Rasanya sudah
lama sekali aku tak berjumpa dengannya sejak perdebatan tiga tahun lalu
meledak. Bahkan aku masih tak mau bicara dengannya. Aku tak pernah tahu
bagaimana keadaannya sekarang. Tapi setahuku, di kampungku masih ada
adik-adikku dan sanak saudaraku yang pastinya akan menjaganya.
Eh, aku ingat dua hari lalu ada surat datang entah
dari mana. Kuletakkan dimana ya? Oh, ini dia. Rupaya di laci riasku.
Untuk Riska Mariska
Riska kapan kau
akan pulang? Kalau kau mau pulang kita bisa pulang bersama sama. Kau hubungi aku
saja, kirim pos ke alamat surat ini yaa
Firda
Sari
Ah Firda, sahabat kecilku. Dia sudah lebih
berpengalaman dariku di Negara ini. Walau sudah tak pernah bertemu sejakempat
tahun silam, tapi selalu rajin ia layangkan kabar
untukku. Lalu, ku ambil satu surat lagi yang belum kubaca. Kubuka
surat yang sudah lusuh itu karena lama tidak kubuka.
Untuk Teh Ika
Teh, ini saya
Kang Ahmad. Salam dari kota Bogor teh.
Teteh bisa
pulang tidak? Ibu sakit, rindu dengan teteh. Keluarga
juga sudah jarang dengar kabar dari teh Ika. Kami semua mencari teteh.
Termasuk
saya teh, saya masih menunggu.
Kang Ahmad
Masyaallah... bergetar bibir ini membaca pesan ini, air mata
terasa hangat di pipiku. Rasanya diri ini penuh dosa, telah membuat ibuku sakit
karena tindakanku ini. Kang Ahmad, dia yang mengirimiku surat ini. Perjodohan
tiga tahun silam berputar lagi di kepalaku. Ya, dia adalah laki-laki sholeh
yang dulu akan dijodohkan denganku, tetapi aku malah menolaknya mentah-mentah,
bahkan kabur. Aku ingin pulang, tapi masih tak bisa. Aku malu, takut keluargaku
malu juga. Lalu jika aku kembali maka akan kubawa kembali luka pada ibuku. Lalu
sampai hari ini dia belum juga pulang. Aku bingung harus berbuat apa. Ya Allah
baru kurasa bahwa diri ini salah. Taubat ka, taubat.
Ya Allah, aku lelah dengan semua ini. Hidupku adalah pilihanku.
Aku sudah terlanjur memilih hidupku yang seperti ini, dan hidup ini adalah
hidup yang dulu aku dambakan walaupun akhirnya tidak semanis kisah novel
percintaan. Aku ingin pulang. Ingin kucium kaki ibuku, ingin ku mengemis kasih
lagi padanya. Mohon agar dosaku bisa
digugurkan karena kasih sayangnya.
Singapura,
2014
“ Ika,
tolong buatkan teh ya.. Sebentar lagi papih datang ” katanya lembut. Aku hanya
membalasnya dengan senyuman kecil di wajahku. “ Oh ya, besok bawa si Dinda ikut
main ke pantai ya ” lanjutnya sambil membalikkan badan dan pergi ke dalam
kamarnya.
Ia
majikanku, sangat baik. Rekomendasi dari sahabatku, Firda. Sangat menghormatiku
sebagai muslimah walau ia bukan muslim dan membolehkanku bekerja sambil di
temani anakku. Ia adalah orang Indonesia yang menikah dengan pengusaha di
Singapura. Walau ia kaya, tapi tak pernah sombong. Bahkan suaminya pun sangat
ramah, anak-anaknya sangat baik pada anakku yang hanya seorang anak pembantu.
Ah, keluarga seperti ini yang aku dambakan sejak dulu. Jika saja bukan
karenanya, mungkin aku sudah memiliki keluarga yang harmoni dengan suami shaleh
dan anak-anak yang lucu dan sholeh shalehah.
Aku
segera ke dapur dan membuatkan teh untuk majikanku yang akan segera pulang.
Aku akan
pulang ke Indonesia tahun depan. Aku berharap ibuku masih mau menerimaku
setelah dua belas tahun lamanya aku tak kembali. Ya, laki-laki itu sudah pergi
dari hidupku. Delapan tahun lalu, aku ditinggalnya seorang diri di
apartemennya. Dia pergi dinas ke Paya Lebar dan tak pernah kembali. Sampai
kudapatkan kabar dari temannya bahwa ia sudah pindah kerja di perusahaan
Jepang. Betapa sakit hatiku saat itu. Aku bisa berjuang sendiri.
Kulahirkan
bayi yang saat itu ada di perutku dengan selamat. Walau aku pernah
menggelandang karena aku tak bisa membayar apartemen yang kutinggali. Sampai
menjadi peminta-minta pun aku jalani untuk aku dan anakku bertahan hidup.
Sampai aku teringat Firda lalu aku emngirimkan surat kepadanya dan ia
menemukanku. Ia rekomendasikann pada orang-orang kaya siapa yang mau menerimaku
bekerja. Saat itu susah, aku menginginkan hijabku kembali kupakai. Dan di
Singapura jarang sekali ada majikan yang mau menerima pekerja dengan latar
belakang muslim. Sampai akhirnya aku bertemu majikanku yang sekarang. Dia dulu
mempekerjakanku karena ia ingin anakku dirawatnya, tapi setelah lima tahun
lamanya aku bekerja ia sudah memiliki anak sendiri. Bahkan sekrang ia sudah
dikaruniai tiga anak yang sangat lucu-lucu. Maka dari itu, anakku ia anggap
juga sebagai anaknya.
Jakarta, 2014
“ Dinda, jangan ada yang tertinggal ” kata Firda repot sendiri dengan
barang bawannya. Ia selalu mengingatkan anakku agar barangnya tidak ada yang
tertinggal.
“ Ika,
kalau kamu mau langsung pulang akan kuantarkan ”
“ Tidak,
tahun baru esok aku baru akan pulang ”
“ Mau
tinggal dimana kamu di Jakarta? ”
“ Aku
akan tinggal dengan Uwa ku. Aku sudah mengubunginya sebelum aku sampai di sini
”
“
Baguslah kalau begitu, hati-hati ya ” katanya sambil melambaikan tangan sebelum
menyetop taksinya. Aku berusaha mengejarnya berlari dan menangkap lengannya
yang berayun.
Sambil
menangis kuucap “ Thanks, so much. For
everything “ ia yang melihatku menangis pun ikut menangis. “ I hope, you always remember me and we can
met again Fir ” aku tak bisa menahan tangis yang membuncah. Aku memeluknya
dan menangis sesenggukan.
“ Riska, just with you I can share everything.
Don’t remember your last story, but remember your cute daughter now. You not
wrong, but this life is a difficult choise and you need some to save you. Okey?
” katanya memberiku semangat. “ Your mom
always waiting for you, altough she can’t remember you again ” kata-kata
ini membuatku semakin terisak. “ Love you Riska. Save Dinda for us, please ”
katanya memohon. Aku sudah tak mampu membalas ucapannya yang begitu membuatku
tak patah semangat. Aku hanya membalas dengan anggukan yakin sambil menghapus
bekas air mata di wajahku.
Dinda,
satu-satunya semangatku sekarang. Ia sudah tak sabar bertemu dengan neneknya.
Walau yang kudengar, ibuku sudah amnesia. Tak bisa mengingat siapa-siapa, hanya
namaku saja yang di sebut-sebutnya setiap hari di atas kursi rodanya. Banyak
pertanyaan dari Dinda tentang keluarga yang akan ditemuinya. Tapi ia anak yang
baik dan sangat sopan. Aku yakin ia akan mengerti apa yang akan diterimanya
nanti di kampungku.
Bogor, 2015
Seperti biasa, aku memandang keluar jendela
dengan tatapan sendu. Di bawah atap sambil
memandang daun segar karena hujan semalam. Rindu akan masa lalu, mengharap
cinta pada sesuatu yang tak pasti. Yang berujung semu, buram, dan kini mataku
sudah tak dapat melihat masa lalu itu.
“ Bun, nenek Ica buatkan teh ya bun “ tanya Ica tiba-tiba
dari belakang. Aku mengangguk sambil melemparkan senyum padanya.
Ia lari kegirangan menuju dapur.
Buah hati semata wayangku itu memang selalu punya cara tersendiri untuk membuat
aku bahagia. Ia tak pernah membuatku kecewa. Kalau aku bersedih pun ia tak malu
untuk merangkulku. Kini hanya dia satu-satunya pelipur laraku. Tak bisa aku
sandingkan kisah yang pahit ini dengan orang lain selain dia. Walau usianya
masih dini, tapi kadang ia bisa menjadi dewasa untuk tetap menjaga hati
bundanya yang bersedih.
Dua belas tahun sudah hidup yang pahit kulalui. Aku telah kehilangan hidup
yang dulu kataku bahagia, aku kehilangan cinta yang semu, aku kehilangan kasih
sayang yang tak seharusnya dulu jadi milikku, aku kehilangan kesempatan untuk
memiliki kelurga yang kudambakan. Dan, kini aku baru menyesal, aku baru sadar.
Aku telah kehilangan cinta yang seharusnya amat abadi untukku. Ibu.
Satu-satunya wanita yang seharusnya bisa mencintaiku abadi, tapi aku
meninggalkannya. Bukan hanya citanya yang habis, melainkan untuk berfikir
tentang hal lain pun ia tidak bisa. Yang ada di otaknya hanya namaku. Walau aku
sudah ada di sampingnya pun ia tetap tak mau. Mungkin ia menginginan kembali ke
masa lalu. Masa dimana ia menginginkanku untuk terus bersamanya.
Ibu,
maafkanlah anakmu yang sudah tak suci ini. Yang sudah tak memiliki cinta darimu
lagi. Aku salah. Walau kau sudah tak ingat siapa aku, tapi aku tahu. Seluruh
isi yang masih tersisa di badanmu adalah cinta untukku. Terimakasih ibu.
Jakarta, Agustus 2016
Ossidduha
Komentar
Posting Komentar