AKU PERGI






            “Tiara, tolong belikan daging ayam sekilo di pasar nak” kata mamah berteriak dari dapur. Tiba-tiba saja perutku jadi mulas mendengar kata-kata mamah barusan.
“Adik saja ya mah, maaf. Tiara masih pusing kepalanya” jawabku beralasan agar mamah yakin dengan jawabanku yang mungkin mengecewakannya. “Oh ya, sebentar lagi teman Tiara juga ada yang mau datang mah. Maaf ya mah” kataku menguatkan alasan pertamaku.

Sudah seminggu ini aku tak berani keluar rumah. Untuk membeli pulsaku saja aku minta dibelikan adikku. Ada seseorang yang aku hindari. Aku tahu, jika aku keluar rumah pasti dia akan membeuntutiku sampai berkesempatan bicara denganku. Aku tak mau, aku malas bertemu dengannya, tatkala aku sudah tahu apa yang akan dia tanyakan padaku.

Panggil saja mas Ilham. Dia pemuda dikampungku yang mana bukan hanya menjadi idola gadis-gadis di desaku, melainkan para ibu-ibu yang berebut ingin menjadikannya  menantu. Hanya ibuku saja yang tidak maniak dengan pemuda itu. Memang jika boleh aku katakan , akupun salah satu gadis desa yang terpikat pesonanya. Bagaimana tidak? Ia tampan, tinggi, santun, ramah, rajin shalat di masjid, dan bacaan al-qur’annya boleh dikatakan sangat bagus. Aku berkenalan dengannya pada kesempatan yang tidak disengaja.

Semua berawal ketika setelah lulus SMA tujuh bulan yang lalu, aku memilih tidak mengambil beasiswa kuliahku di Jakarta. Alasannya karena terlalu jauh dan aku tidak terbiasa jauh dari orangtuaku. Lalu, orang tuaku sedikit kecewa dan akhirnya mencarikanku kegiatan agar aku tak menganggur di rumah. Karena ayahku adalah seorang guru ngaji, maka aku dijadikannya asisten. Setiap sore beliau mengajakku ke masjid untuk membantu menyimak hafalan anak-anak tingkat SD dan SMP. Aku tak gugup sedikitpun kala pertama kali menyimak salah satu hafalan anak-anak, karena aku sudah biasa menyimak hafalan ayah di rumah setiap setelah shalat.

Tapi setelah seminggu aku menjadi asisten ayahku, tiba-tiba ada seorang gadis kecil yang biasa kusimak hafalannya mengampiriku sebelum pulang ke rumah. Dia murid kesayanganku, walaupun masih jus tigapuluh tapi bacaannya sudah sangat merdu. Dia memberiku kertas berwarna biru muda yang dilipat rapih segi empat. Kemudian ketika kutanya apa isinya, ia hanya senyum-senyum dan malah berlari kencang ke belakang masjid. Dan ketika di rumah aku membukanya, aku terkejut. Itu adalah surat dari mas Ilham, tulisannya sangat rapi. Di dalam surat itu hanya dituliskan ungkapan terimakasih karena aku telah membantu adiknya menjaga hafalannya, dan sejak itu aku tahu murid kesayanganku itu adalah adiknya. Namanya Amira. Padahal isinya hanyaa ungkapan terimakasih, tapi saat itu rasanya ingin jungkir balik karena bahagia. Karena aku adalah gadis pertama yang mendapat surat darinya, itu kata Amira.

Lama-kelamaan dia bukan hanya memberiku surat, melainkan barang-barang seperti gamis, jilbab, dan terakhir al-qur’an biru muda warna kesukaanku tanpa sepengetahuan ayahku. Sejak itu kami dekat, bahkan setelah selesai menyimak kami sering bicara di teras masjid sebelum pulang. Sekali lagi tanpa sepengetahuan ayahku. Ketika ini aku masih biasa saja, menganggap pemberiannya adalah ungkapan terimakasih telah membantu adiknya menjaga hafalannya. Tapi tiba-tiba dua minggu yang lalu dia datang ke rumah menemui ayahku. Aku tak pernah curiga, karena ayah dan mas Ilham memang sudah dekat sejak lama. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi sejak pertemuan itu ayah jadi lebih waspada denganku. Biasanya jika aku belum selesai menyimak hafalan anak-anak, ayah akan meninggalkanku membiarkanku pulang sendiri. Tapi ini tidak, beliau malah menungguku sampai aku selesai menyimak. Lalu jika aku ingin ijin ke rumah teman, ayah akan mengantarku dan menjemputku. Sampai akhirnya aku mendapat telpon dari mas Ilham, entah darimana dia mendapat nomor telponku. Yang jelas pada pembicaraannya dia mengatakan suka padaku dan ingin bicara denganku empat mata. Kali ini aku bukan bahagia, melainkan takut. Takut ayahku tahu dan aku akan dimarahi habis-habisan. Sejak terima telpon itu, aku tak pernah lagi keluar rumah karena takut. Gara-gara itu juga aku demam, jadi aku bisa beralasan pada ayahku tidak bisa membantunya karena sakit. Mas Ilham berkali-kali menghubungiku tapi tak pernah ku angkat. Aku takut.Tapi tak selamanya aku di rumah, setelah melihatku ayah sudah mengajakku tiga kali untuk membantunya menyimak lagi. Tapi aku menolak dengan alasan masih pusing sampai hari ini.

Hari ini aku memanggil temanku untuk ke rumah. Karena aku tak berani cerita dengan orangtuaku aku memanggil temanku yang sudah berniqob untuk ke rumahku, namanya Nisa. Aku ceritakan semuanya tentang aku dan mas Ilham.

“Gimana dong Nis? Aku ngga mau dosa, tapi aku juga ngga mau mas Ilham dilepas gitu aja. Aduh Tiara... Setan ini setan” kataku menyalahkan diri sendiri.

“Sabar Ra, kamu boleh suka sama seseorang, tapi kamu ngga pernah tahu siapa jodohmu sebenarnya” kata Nisa bijak. “Kamu kan tahu, mas Ilham itu orang baik, kamu juga orang baik. Kalau kalian pacaran, mau dikemanakan citra baik kalian?” aku hanya termenung memikirkan perkataan Nisa barusan.

“Kita ngga akan pacaran kok, cuma sama-sama tahu aja kalau kita saling suka. Niat kita juga buat silaturahin biar ngga putus” kataku membela, karena memang sejujurnya aku benar-benar takut mas Ilham pergi.

“Istighfar Ra, kalau kalian menjaga silaturahim lalu maksiat juga dijaga?” pertanyaan Nisa membuatku gemetar. “Apa yang kalian lakukan memang tidak kelewat batas, tapi tanpa kalian sadari, kalian sudah berzina hati. Istighfar Ra” kata Nisa kembali mengingatkan pesan-pesan ayah tentang zina hati beberapa hari lalu. “Seharusnya kita sebagai wanita itu memantaskan diri, agar dapat jodoh yang tepat kalau sudah waktunya. Bukannya malah menjaga maksiat bersama” pesan Nisa membuatku gemetar lagi.

Aku merenung mencerna kata-kata Nisa. Tanpa kusadari aku menangis, entah apa yang kutangisi rasanya begitu pilu kurasakan. Nisa memelukku. Ditengah-tengah tangisanku aku berbisik pada Nisa “Nis, aku ngga bisa lupa sama dia. Aku terlalu suka. Ini sudah kelewatan Nis. Aku ingin hijrah Nis, bantu aku” kataku lirih bersama deraian air mata yang membasahi pipiku.

“Tiara, kamu bisa menyibukkan diri. Kamu bisa kuliah dan cari kegiatan supaya kamu bisa lupa  sama dia. masih banyak kesempatan untuk berhijrah.” katanya sambil mengusap air mataku. Aku menunduk malu. Kata-kata Nisa semuanya benar. “Oh ya, bukannya kamu dapat beasiswa di Jakarta? Kenapa ngga diambil aja?” kata Nisa tiba-tiba mengingatkanku dengan beasiswa tujuh bulan lalu.
“Nisa, itu udah lama banget. Emang masih berlaku?” kataku putus asa.
“Ditanya dulu apa salahnya. Kalau kamu bisa ke Jakarta itu kesempatan buat kamu untuk mencari ilmu dan melupakan dia. Dan jangan lupa untuk memantaskan diri” katanya sambil menyunggingkan senyum kecil.

Akhirnya aku menelpon penanggung jawab yang tujuh bulan lalu menawariku beasiswa. Setelah bicara panjang, katanya aku masih bisa masuk jika aku mengikuti tes ulang. Dan tes itu akan dilaksanakan hari Sabtu besok. Aku dan Nisa benar-benar bahagia. Saatnya mempersiapkan diri untuk berhijrah.

***

Keringatku sampai menetes ke meja dari dahiku. Aku benar-benar gugup mengerjakan soal-soalnya. Hari ini aku mengikuti tes beasiswa ku dengan Nisa. Sekali lagi tanpa sepengatahuan ayah dan mamahku. Aku tak mau meberitahunya karena aku malu jika aku tak diterima. Jadi aku akan menjadikan ini kejutan jika aku diterima.

“Nah, sekarang kamu jelaskan sama mas Ilham kalau kamu ingin berhijrah untuk Allah, supaya dia tidak mengira kamu mencampakkannya” kata Nisa sambil berjalan pulang. Memang setelah ceritaku pada Nisa lima har lalu, aku tak pernah lagi hirraukan mas Ilham. Aku tetap mengajar, tetapi selalu minta ditemani ayah untuk berangkat dan pulangnya. Jika aku bertemu dengannya di jalan, aku akan berusaha lari dan menghindar. Agar ia tak berkesempatanbicara denganku. Pesan singkatnya tak ppernah kubalas. Jika adiknya titipkan barang untukku, aku akan katakan ‘Simpan saja dulu’.

Satu minggu kemudian

Kriiiing, kriiiing, kriiiiing...
Telpon rumah Tiara berbunyi. Tiara dari dapur segera berlari ke ruang tamu dan mengangkat telponnya.
Assalamu’alaikum

Wa’alaikumussalam

Benar dengan saudara Nabila Tiara Riski?

“Iya ada apa?” tanya Tiara sedikit heran.

Kami dari panitia beasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an menginfokan bahwa saudari adalah salah satu yang lolos dan masuk di PTIA. Selamat kami ucapkan. Selanjutnya silahkan registrasi pendaftaran di kampus kami yaitu di Jakarta jalan...

“Mamaaaaaah....”

Belum selesai panitianya bicara, ia sudah berteriak girang dan melompat-lompat senang. “Okeh-okeh pak. Terimakasih, terimakasih banyak pak” katanya menutup pembicaraannya di telpon.

Aku kabari ayah, bahwa aku akan kuliah di Jakarta. Dan sambutan dari ayahku sungguh menyenangkan. Ayahku sangat bangga, akhirnya aku mau kuliah juga. Aku pun bahagia, tandanya ini kesempatanku untuk berhijrah melupakan dia yang selama ini menjadi hasutan setan di dalam hati.

Sebelum pergi aku pamit pada keluargaku dan Nisa. Tak lupa perkataan Nisa, aku kirimkan surat untuk mas Ilham.

Aku tidak mati, apalagi hatiku
Aku hanya tak ingin kisah kita jadi benih dosa
Aku melihatmu, selalu
Walau dalan intipan jarak ratusan kilometer
Janur kuning bisa melengkung
Tapi sebelumnya jangan sampai iman kita juga melengkung
Cintakan sesuatau karena Allah
Karena Allah lebih cinta kita dari apa yang bisa kita bayangkan
Bedakan cinta dengan nafsu
Satukan pikiran dan hati dengan iman
Sesungguhny Allah akan pilihkan jodoh yang baik untuk orang yang baik
Semoga kita termasuk di dalamnya
Tiara

Semoga aku bisa istiqomah bersabar menanti jodoh pilihanmu ya Allah, yang mana tepat. Kini aku akan pantaskan diri supaya aku dapatkan insan yang pantas pula. Yang imannya kokoh lagi cinta denganMu ya Allah.

Wahai kau insan yang berkelana, carilah cintaNya baru cintamu...


Jakarta, Oktober 2016
Ossidduha

Komentar

Postingan Populer