BOCAH BAWANG KONTONG
Oleh:
Ossid Duha Jussas Salma
“Eh Rusdi!
Harusnya sekarang giliranku!” teriak Dian kencang pada Rusdi yang menyela
permainan.
Dian kecil
berteriak membentak Rusdi dengan keras. Ia kesal, Rusdi telah menyela
gilirannya. Rusdi di lingkaran permainan segera berhenti dan mundur. Ia
memicingkan matanya ke arah Dian, kesal.
“Sudahlah! Aku
tak mau main lagi,” ujar Rusdi membuang batu gilirannya dan pergi.
Ditinggalkannya
permainan suramanda yang sudah hampir klimaks tersebut. Padahal sekali lagi
main, Rusdi akan mendapat ‘sawah’ di kotak ketiga.
Dian yang melihatnya
malah marah-marah. “Hei Rusdi! Dasar bawang kontong[1]!
Main saja sana dengan sapi!” teriak Dian pada Rusdi yang berlalu begitu saja.
Rusdi
mendengarnya, ia tak ambil hati dan malah asik berlalu sambil berlagu dengan
sedikit siulan. Hari ini dia sudah lelah, dia ingin pulang karena harum ayam goreng
buatan ibunya sudah tercium sampai ke lapangan tadi.
Sampai di
rumah, Rusdi segera berlari menuju meja makan dan hendak mengambil ayam goreng
yang harumnya sepanjang jalan menggodanya. Ketika tangannya sudah tiga perempat
hampir samppai menuju ayam, tiba-tiba tamparan tangaan halus menampar tangan
kecilnya.
Plak!
Rusdi langsung
mendongakkan kepalanya ke atas. Dilihat ibunya sudah berkacak pinggang melihat
aksinya.
“Lihat bajumu!
Kotor seperti pemulung. Bagaimana ibu bisa bedakan kau pemulung atau anak ibu.
Ayo cepat ganti bajumu!” suruh ibunya pada Rusdi.
Rusdi langsung
sadar dan buru-buru berlari menuju kamarnya sebelum ibunya melayangkan tamparan
yang kedua.
***
“Rusdiiii...
Ayo cepat pakai bajunya,” ujar ibu Rusdi memasang tali sepatu anak enam
tahunnya itu sambil meyiapkan sarapannya.
Rusdi dengan
wajah tanpa dosa keluar kamar dengan penampilan yang membuat ibunya sipit.
“Duh gusti,
kamu pakai baju untuk sekolah. Bukan untuk mancing ikan berantakan
compang-camping sana-sini kaya gini!”
Ibunya
geleng-geleng kepala. Seringkali ulah Rusdi membuatnya bekerja dua kali lebih
ekstra. Setelah selesai merapihkan penampilannya, beliau memasangkan sepatu
sambil menyuapkan bubur ayam sarapan Rusdi. Rusdi dengan asik mengunyah bubur
sambil bermain mobil-mobilan yang ia temukan di sampingnya karena belum sempat
dibereskan ibunya. Ibunya menghela nafas panjang-panjang melihat kelakuan
anaknya tersebut.
“Ayo, ayo,
ayo,” ujar ibunya mengusir Rusdi untuk berangkat sekolah.
Rusdi berangkat
sekolah setiap hari dengan becak pak Slamet bersama tiga kawan rumahnya. Dian
dan Arum. Dian adalah kakak kelasnya, ia duduk di kelas empat SD sekarang.
Sedang Arum adalah kawan sekelasnya, kelas satu SD. Pak Slamet selalu
mendatangi rumah Rusdi yang terakhir, dan ketika Rusdi hendak naik becak, sudah
ada Dian dan Arum. Dian dengan wajah kesalnya memasang badan agak lebar agar
Rusdi tidak bisa duduk. Tak kehabisan akal, Rusdi yang diperlakukan tidak adil
malah senang bisa duduk di tepi becak sambil kaki berungkang-ungkang. Dian
semakin kesal.
“Hei kalian,
sore nanti kita main suramanda lagi yuk!” ajak Rusdi pada kedua kawannya
tersebut.
“Wah, suramanda
ya? Sepertinya nanti sore aku akan ada les piano, maaf ya, ” jawab Arum dengan
wajah menyesal.
“Kalau kau
Dian?” tanya Rusdi tanpa dosa.
Dian tanpa dosa
juga tak menjawab pertanyaannya. Ia malah asik mengganggu capung yang sedari
tadi lewat tak berhenti menerjang mereka.
Di sekolah
sangat ramai. Semua anak berlarian ksana kemari. Termasuk Rusdi. Ia bermain jonjang
jongkrok. Beberapa kali anak-anak berteriak karena kena pegang lawan,
sehingga ia harus jaga.
“Masang!”
seru seorang anak memegang Rusdi. Itu berarti tanda Rusdi harus jaga sekarang.
Dian melihat
dari kejauhan sambil tertawa senang karena sekarang giliran Rusdi jaga. Tapi
Rusdi yang baru saja di pegang malah pergi saja. Semua teman-temannya protes
sebab ia tak mau jaga. Tapi Rusdi menjawab dengan santai.
“Aku lelah,
sudah waktunya masuk kelas. Aku duluan ya,” ucapnya pada seluruh kawannya yang
sedang bermain.
Teman-temannya
melongo semua melihat kelakuan Rusdi. Hampir semua teman-temannya marah, tapi
tiba-tiba dari depan kelas Dian berlari menuju kawan-kawan Rusdi yang sedang
mendidih emosinya.
“Sabar-sabar,
jangan marah dulu. Rusdi memang andalan bawang kontong di rumahku.
Setiap bermain apapun, dia tak pernah diberi giliran jaga, jadi jangan marah,”
ucap Dian bijak meredakan emosi kawan-kawannya.
Akhirnya
setelah mendengar penjelasan dari Dian, kawan Rusdi kembali melanjutkan
permainan dan memilih anak yang jaga dengan cara hompimpah dan gamsut[2].
‘Rusdi
kan masih enam tahun umurnya, jadi wajar saja kalau dia menjadi andalan bawang
kontong’ Dian membatin.
***
Sepulang
sekolah, Rusdi langsung mengganti pakaiannnya dengan pakaian rumah. Mengambil
bola di kolong kasur dan segera pergi keluar. Tanpa makan siang.
“Kita main bola
yuk!” tiba-tiba ajak Rusdi pada anak-anak besar yang sedang berkumpul di lapangan.
Anak-anak yang
sedang duduk-duduk beragam umur. Tapi yang jelas, mereka semua lebih tua
darinya. Ada Andri, Tio dan Bahri yang sekarang kelas lima SD. Ada Firdaus,
Aceng, Fido, dan Yanuar yang masih kelas tiga dan empat SD. Tapi ada juga
Virgo, Na’im, dan Jefri yang kini sudah duduk di bangku SMP. Sedangkan Rusdi,
dia masih enam tahun, kelas satu SD, dan dia adalah andalan bawang kontong.
“Yuk kita main, mumpung di bawa bola. Dia juga tidak akan ikut main,
dia kan bawang kontong” ucap salah seorang anak ingin memanfaatkan bola
yang dibawa Rusdi.
“Angga saja dia
tidak ada,” tambah seorang lagi mengompori yang lainnya.
Permainan bola
dimulai dengan dibuatnya kelompok kecil. Mereka sebut tim merah dan tim biru. Rombongan tim merah yaitu; Virgo,
Na’im, Bahri, Firdaus, Fido, dan Yanuar. Sedangkan tim biru sisanya, termasuk
Rusdi.
Priiiit...
Peluit
dibunyikan tanda permainan dimulai. Virgo berlari mengejar bola yang
menggelinding di tanah. Disusul Fido yang sudah bersia akan menerima tendangan
dari Virgo. Setelah Virgo menendang bebas ke arah Fido, keala Fido yang sudah
disiapkan untuk menyundul bola malah tidak tepat sasaran. Bola itu malah lari
tertangkap Aceng. Di depan Aceng, Rusdi sudah siap pasang badan untuk menerima
bola dari Aceng. Tapi Aceng masih meragukan kemamuan Rusdi, sehingga ia bawa
bola itu lari melewati Rusdi. Rusdi yang dilewati merasa tidak terima dan
akhirnya malah mengejar Aceng. Baru dua langkah Rusdi berlari, tiba-tiba
Firdaus dari belakang menubruk Rusdi. Ia tersungkur jatuh dan terlanting
sekitar satu meter ke kiri. Badan kecil Rusdi segera bangkit, walau di dahinya
sudah ada darah mengalir akibat benturan batu kecil saat ia terplanting.
Permainan
semakin sengit, bola sedang digiring Andri menuju gawang. Tapi tiba-tiba Yanuar
menghalang jalannya, sehingga sangat tidak memungkinkan Andri untuk langsung
melempar bola ke gawang. Hanya Rusdi satu-satunya kawan tim yang ada di sana,
dan mau tak mau Andri mengode Rusdi agar siap badan. Tendangan keras di
lemparkan oleh Andri ke arah Rusdi.
Buk!!!
Rusdi
menggelepar di tanah. Bola yang membentur keras kepalanya membuatnya terjungkal
ke belakang. Semua anak melongo melihat Rusdi yang tak bergerak. Sampai
tiba-tiba tangis Rusdi pecah.
“Ibu...! Huaaa...”
Semua anak-anak
panik, saling menyalahkan satu sama lain.
“Andri, kau
harus laporkan pada ibunya,” kecam Virgo pada Andri.
“Kenapa harus
aku? Seharusnya kita semua!” ucap Andri keras merasa tidak terima dikecam.
“Tapi tadi kau
yang menendang bola ke arahnya! Seharusnya kau yang tanggung jawab!” kecam lagi
pada Andri.
“Aku kan sudah
bilang dia bawang kontong. Seharusnya jangan diikutkan main,” ujar Na’im
berusaha mengingatkan ulang perkataan awal sebelum permainan tadi.
Tiba-tiba Dian
yang sedang lewat baru pulang dari warung, melihat kerumunan laki-laki di dekat
gawang. Ia jadi penasaran dan mendekati kerumunan tersebut. Setelah didengar
suara tangisannya adalah suara Rusdi, ia langsung menaruh belanjaannya dan
masuk ke kerumunan tersebut marah-marah.
“Heh! Dasar
kalian tak tanggung jawab! Seharusnya Rusdi jadi bawang kontong saja,”
sambil berkacak pinggang ia marah-marah. “Makanya lihat umur!” semua anak-anak
bingung melihat Dian.
Dian segera
membantu Rusdi berdiri. Rusdi masih menutup wajahnya yang sedari tadi menangis.
Dian bawa Rusdi pulang ke rumahnya dan melaporkan kejadian barusan pada ibunya.
“Ya ampun, kan
sudah dibilang, kalau main dengan anak-anak kecil saja,” kata ibunya prihatin
melihat luka-luka kecil di lutut dan dahi Rusdi. “Makasih ya mba Dian mau
mengantar Rusdi pulang,” ucap ibunya berterimakasih.
Sambil
senyam-senyum Dian menjawab, “Sama-sama ibu.”
***
“Aku ikut main ya...”
Tiba-tiba suara Rusdi menyeruak ikut rombongan anak yang sedang
bermain petak umpet. Sebenarnya anak-anak sudah malas jika Rusdi ikut
seebuah permainan. Karena ia pasti akan jadi perusuh. Yah, namanya juga bawang
kontong. Siapa yang tak sebal dengan anak bawang kontong.
“Tak apa ikutkan saja biar dia senang,” ujar Dian jahat pada
teman-temannya.
“Tapi kamu jadi bawang kontong saja ya...” ucap seorang anak
ppada Rusdi.
Rusdi yang diperingatkan iya iya saja. Sebab Rusdi pun sebenarnya
tak tahu apa sebenarnya maksud bawang kontong tersebut.
Permainan dimulai dari seorang anak yang berjagaa di pohon. Ia
menghitung angka dari satu sampai sepuluh.
“Sembilan... sepuluh! Aku datang!” seru seorang anak yang berjaga.
Rusdi berjaga di belakang pohon kecil yang sebenarnya sangat tak
menutupinya. Baru sekali tengok, si anak yang berjaga langsung mendapat Rusdi.
Sambil berlari ke arah pohon jaga, ia berteriak.
“Rusdi litong!”
Rusdi tanpa sesal keluar dari persembunyian konyolnya itu sambil
tertawa terbahak-bahak, senang. Kemudian dengan senang, seperti penjaga ia
malah keliling mencari anak-anak yang sedang mengumpat. Sesekali ia tertawa
melihat beberapa anak yang sedang mengumpat, dan itu membuat si penjaga menjadi
tahu dengan persembunyian anak-anak. Tibalah Rusdi pada persembunyian Dian.
Padahal Dian sudah mati-matian mencari tempat yang tak akan diketahui
orang-orang, yaitu di atas pohon. Tapi entah petunjuk darimana, Rusdi bisa
menemukannya.
Tanpa dosa Rusdi malah mengajak bicara Dian.
“Hei Dian! Hati-hati jatuh!” seru Rusdi khawatir.
Dian malah kesal dengan kekhawatiran Rusdi, karena akan membuat si
penjaga mengetahui persembunyiannya. Beberapa kali Rusdi mengajak bicara Dian,
Dian hanya mendekatkan jari telunjuknya ke bibirnya.
“Sstt... Jangan berisik, nanti aku ketahuan,” ucap Dian kesal
sedikit berbisik.
Tapi Rusdi malah semakin senang mendongakkan kepalanya, bukan
karena alasan apa-apa. Itu semua karena ia khawatir Dian akan jatuh.
“Teman-teman... Cepat tolong Dian, dia tidak bisa turun dari
pohon!” seru Rusdi tiba-tiba pada semua anak.
Cepat-cepat semua anak lari menuju asal suara. Dian semakin
khawatir, ternyata Rusdi salah kaprah mengenai tindakannya. Padahal Dian berada
di atas pohon untuk mengumpat, tapi Rusdi pikir, Dian tak bisa turun dari
pohon. Si penjaga petak umpet malah tertawa keras bahagia, karena
akhirnya pengumpat terakhir sudah didapatkan.
“Aaa! Dian litong!” seru si penjaga kegirangan.
Huft...
Akhirnya Dian turun dari pohon dan menyalahkan Rusdi.
“Dasar kamu! Gara-gara kamu aku jadi ketahuan” ucap Dian kesal pada
Rusdi.
Rusdi dengan tanpa dosa berlari senang, karena melihat sahabatnya
bisa selamat. Dari jauh, Dian menggerutu kesal. Karena setiap permainannya
selalu gagal jika ada Rusdi.
‘Dasar bawang kontong!’ maki Dian pada Rusdi dalam hati.
Tapi kemudian ia tersenyum. Ia sadar bahwa Rusdi adalah bawang
kontong, sehingga amarahnya berkurang. Dendamnya pun hilang.
Begitulah setiap hari Rusdi dan kawan-kawwannya. Selalu saja ada si
bawang kontong yang menghancurkan suasana permainan. Tapi begitu pula si
bawang kontong tak pernah
mengambil hati, makian dari teman-temannya. Ia tak pernah marah bahkan dendam.
Ia menangis jika fisiknya terluka, tapi betapa tegarnya ia, walau sudah dimaki
teman-teman karena kesalahannya ia malah tersenyum.
Entahlah,
pertemanan antara Rusdi dan Dian pun tak pernah mati. Walau Dian sudah sering
kesal karena kelakuan Rusdi, dibuuat repot karena kelakuannya. Ia paham Rusdi
adalah bocah bawang kontong. Dan Dian pun sadar, bahwa ia pernah berada
di posisinya. Menjadi bocah bawang kontong.
Ossidduha
Jakarta, Desember 2016
Komentar
Posting Komentar