'BUNGA BANGKAI NCUNG'
“Maaf
bu, permisi. Di sini bukan tempat parkir” tiba-tiba kata seorang pria berbadan
kurus dengan janggut lumayan subur sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil depanku.
Aku
terbangun seketika. Sepertinya semalaman aku tidur di dalam mobil depan toko
ini. Tanpa membuka kaca mobil, aku meminta maaf dengan isyarat tangan dan
segera menghidupkan mesin mobilku lalu pergi. Sudah berapa hari aku ada di
mobil ini. Belum sampai juga aku pada tempat tujuanku. Ada pesan berat dari
ayahku dalam surat wasiat rahasianya untukku. Yang mana harus cepat
kusampaikan, sebelum bencana menjadi bagian dari hidupku.
Di jalan aku merogoh tas di kursi sebelah
kiriku, mencari ponsel atau apa yang bisa membuatku memesan makanan tanpa harus
turun dari mobil. Setelah lama kurogoh semua tempat, hasilnya nihil.
‘Sial,
aku membuangnya kemarin di jalan’ batinku.
Aku
baru sadar aku telah membuang ponselku di jalan saat aku benar-benar kesal
dengan panggilan spam yang sangat mengganggu menurutku. Kini mau tak mau
aku harus turun untuk makan. Lapar sekali aku, sseperti sudah satu minggu aku
tak makan. Sambil jalan, kutengok kanan kiri mencari cafe atau restoran
yang bisa kuhampiri untuk makan.
Seperempat
jam perjalananku, kutemukan cafe kecil di pinggir jalan yang tak terlalu
ramai. Mungkin aku bisa menyinggahinya sebentar untuk makan. Segera kutepikan
mobilku mengikuti arahan tukang parkir cafe itu.
“Pesan
nasi goreng keju satu porsi dan jus jeruk”
Pelayan
wanita itu segera pergi setelah aku selesai menyebutkan pesananku. Sambil
menunggu makananku siap, aku melirik bunga plastik yang ada dalam vas di
mejaku.
Bunga plastik
itu menarik perhatianku. Mengingatkanku pada cerita masa lalu yang lama
kulupakan. Oh tidak, aku bisa terhanyut pada perasaan masa lalu itu. Tiba-tiba
aku mencium aroma bunga dari masa lalu yang biasa disodorkannya padaku. Mataku
tiba-tiba terpejam, pusing. Pandanganku tak karuan melihat sekelilingku. Dan
kembali sekelabat aroma bunga dari masa lalu itu tercium lagi dan aku
terbawanya. Pergi.
“Aku
tak suka bunga bangkai ini, baunya menjijikkan” kataku celetuk sebal
karena bunga ini yang selalu dibawanya jika ia bertemu denganku. Entah darimana
ia mendapatkannya, belum pernah kutemukan bunga yang baunya sebangkai ini.
Tapi ia tetap menyodorkan bunga itu padaku, hingga aku tak melihat batu di
belakangku dan aku tersungkur jatuh ke belakang.
Ia
mengulurkan tangannya untuk membantuku. Tapi aku terlanjur sebal, aku bangunkan
sendiri badanku untuk kembali berdiri. Aku lari menjauh darinya. Sambil berlari
kuseka air mataku yang entah mengapa tiba-tiba turun ke pipiku. Aku tak sedih,
tapi air mata itu turun acapkali aku pergi meninggalkannya. Sebelum jauh, aku
sempat menoleh ke belakang. Dia masih berdiri di tempatku jatuh, sambil mencium
bunga bangkai yang tadi hendak diberikannya padaku.
Esoknya
saat aku sudah siap dengan ransel di pundakku hendak berangkat sekolah, ia
sudah berdiri di depan pagar rumahku, dan pastinya dengan bunga bangkai
favoritya.
“Hush!
Pulang sana, minta makan pada ibumu”
Aku
langsung menoleh ke arah ibuku dengan wajah sebal karena mengusirnya. Entahlah,
aku selalu sebal jika ada orang yang mengusirnya. Apalagi dengan perkataan
seperti yang ibuku katakan. Walaupun aku tak suka dengan bunga bangkainya,
bukan berarti aku tak peduli padanya. Lagiula setahuku, ia datang kemari bukan
untuk meminta makanan. Memang sampai saat ini aku tak tahu dimana rumahnya,
ibunya, dan keluarganya. Setiap hari aku bertemu dengannya, yang kulihat ia
selalu sendiri di pinggir jalan menungguku lewat dan membuntutiku sampai aku
masuk ke rumah.
Tak
pernah kutahu namanya. Aku memanggilnya, Ncung. Karena ia selalu mencung bunga
bangkai padaku. Ia tak pernah bicara sama sekali, tapi aku tahu ia tak
bisu. Setahuku ia hanya tuli tapi tak bisu. Bahkan orang-orang kampung sering
menyebarkan berita konyol tentangnya. Terbilanglah ia anak dewa palinggihan—dewa
dari pohon besar di daerahku yang masih banyak orang menyembahnya, maka dari
itu ia tak pernah mau bicara. Sebab kalau ia bicara, nanti persembunyian dewa
palinggihan bisa terbongkar . Ada pula yang mengatakan ia anak jin, sebab
mulutnya dibuat tak bicara. Agar ia tak bisa memberitahu orang-orang tentang
rencana jin.
Aku
tak pernah percaya bualan mereka semua. Bahkan aku menganggap Ncung adalah temanku,
walau sering aku kesal dengan bunga bangkai menjijikkannya yang aneh.
“Ncung!”
aku memanggilnya agak keras. Ia tak mendengarku. Akhirnya kutepuk pundaknya,
barulah ia menoleh.
Mendengar
panggilanku, ia berlari ke arahku. Kemudian setelah sekitar tiga puluh
sentimeter di hadapanku, ia kembali menyodorkan bunga bangkainya padaku.
Aku kembali menunjukkan wajah bosan.
“Aku
tak butuh bunga bangkai ini” sambil kutepikan tangannya yang menyodorkan
bunga itu, “Aku ingin mengajakmu ke taman, melihat bunga yang lebih indah. Ayo”
kataku sambil menarik tangan Ncung.
Aku malas pergi
ke sekolah hari ini. Aku dan Ncung pergi menuju taman belakang rumah kosong di
ujung komplek, yang di sana jarang sekali orang mengunjunginya. Padahal mereka
semua tak tahu, ada surga bunga di belakang rumah kosong itu.
Sampai di sana,
aku mengajaknya masuk ke belakang lewat pagar yang rusak. Tapi ia tak mau
masuk. Aku menariknya sampai aku sendiri hampir terjatuh, tetap saja ia tak
bergeming.
“Hei, ada apa
denganmu? Bukankah kau suka bunga?” tanyaku heran padaanya.
Ia hanya
menggeleng yang tak jelas arahnya. Tiba-tiba ia jongkok dan menutup telinganya.
Aku semakin bingung, tak ada suara apa-apa di sini, apalagi suara yang
memekikkan telinga. Tapi mengapa ia menutup telinganya. Apa yang ia dengar?
Tunggu, bukankah ia tuli. Lalu apa yang didengarnya. Aku benar-benar pusing tak
paham apa maksudnya.
Aku menunggunya
selesai melakukan ritualnya, mungkin menutupi telinga adalah bagian dari
ritualnya. Pasalnya sudah hampir lima jam ia menutupi telinganya sambil
berjongkok. Entahlah, mungkin ia malah tidur. Aku sudah bolak-balik taman
sedari tadi. Memetik beberapa bunga untuk kusematkan di telingaku dan bermain
memutar tubuh sambil mengibas rok seragam yang agak lebar bak aku adalah
permaisuri. Sendirian.
“Mau sampai
kapan kau akan terus begini Ncung?” tanyaku kesal menunggunya. “Sudah waktunya
aku pulang, nanti mamahku akan mengomeliku jika aku pulang terlambat” kataku
semakin sebal karena ia tak merespon pertanyaanku.
“Aku pergi jika
kau tak meresponku dalam hitungan lima detik” aku sudah bosan menunggunya,
“Satu, dua, tiga, empat, dan...” aku meliriknya sedikit, siapa tahu ia mau
bangun. Ternyata ia tetap pada posisinya, “Lima. Okeh aku pergi” kataku cuek
sambil pergi meninggalkannya.
Tiba-tiba, baru
tiga langkah aku melangkahkan kakiku, aku dikejutkan dengan cengkeram kuat
tangan yang dingin. Ya, itu tangan Ncung. Aku terkejut karena sebelumnya ia sama
sekali belum pernah memegang tanganku. Kurasakan tangannya gemetaran, dingin,
dan kuat. Wajahnya masih ditundukannya, belum berani menatapku. Padahal aku
sudah siap menunggu tatapannya. Lama aku menunggunya diam sambil memegang
tanganku.
“AKU INGIN MEMBUNUH
AYAHMU!!!”
Aku terpekik.
Terkejut dengan kalimat bentakkannya barusan. Matanya melotot bulat, bibirnya
ia gigit seakan ada seribu dendam yang ingin ditumpahkannya. Baru kali ini aku
mendengarnya bicara, dan kalimat pertama yang keluar itu membuatku ingin muntah
di hadapannya. Aku takut dan langsung menghempaskan cengkeraman tangannya. Aku
berlari takut menjauhinya. Dan sekali lagi, air mataku tiba-tba turun membasahi
pipiku. Aku meninggalkannya lagi.
Aku semakin
jauh berlari, sempat sekilas kutoleh ke belakang. Ia masih berada di posisi
yang sama, dengan mata melotot masih mengikuti arah lariku. Aku semakin takut
dan semakin kencang berlari. Dan tanpa kusadari, batu di depan membuatku jatuh
tersungkur dan...
Pandanganku
buram, aku melihat sekelilingku. Tapi, tiba-tiba saja pikiran yang terlintas
hanya satu. Lapar. Ya, rasanya sebelum ini aku sempat memesan makanan di cafe.
“Apa makananku
sudah siap?” kepalaku pusing, tapi langsung kulontarkan petanyaanku. Sebab aku
sangat lapar.
“Dia sudah
sadar”
Tiba-tiba
seorang pria berseru seakan memanggil pasukannya. Aku bingung, aku berada
dimana sekarang. Seingatku, terakhir kali tempat yang kusinggahi adalah di cafe
kecil pinggi jalan siang itu
“Dimana
aku?” tanyaku pada sekelompok orang yang berada di sekeliling tempat tidurku.
“Ini
di rumah sakit mbak. Dua hari yang lalu, saat mbak datang ke cafe kami,
mbak pingsan di meja sambil menunggu makanan. Mbak sudah pingsan sejak dua hari
lalu” kata seorang pria menjelaskan padaku.
‘Apa?!
Pingsan dua hari?’ batinku kaget mendengar kalimat pria itu barusan.
Aku
beusaha meenangkan diri, agar tak terlihat kaget di hadapan pelayan-pelayan cafe
tersebut.
“Terimakasih
sudah mau membantuku. Rasanya aku sudah sehat dan sudah waktunya aku pergi”
kataku sambil melepas, selang infus yang terpasang di lenganku.
Aku
berdiri agak limbung, mencari tasku yang tadi sempat kulihat ada di meja
sebelah kasurku. Aku merogoh tas mencari kunci mobilku dan segera pergi keluar.
Aku tak peduli dengan ekspresi apa yang ditumpahkan orang-orang yang ada di
dalam tadi. Yang terpenting aku harus sampai di sana besok sebelum terlambat.
Sebelum
dia membunuh semua orang demi bertemu ayahku. Sebelum tanah itu subur dengan
bunga bangkainya. Sebelum Ncung membunuh dirinya sendiri, dan aku takkan
pernah melihatnya lagi.
Sebelum
bunga bangkai itu, disematkan pada orang yang salah.
Jakarta, 2016
Ossidduha
Komentar
Posting Komentar